YES, I AM A STAY AT HOME MOM. AND I AM PROUD OF IT

1688152_10209020503569459_1628440929762687782_nSaat memilih ‘hanya’ menjadi seorang Ibu rumah tangga, gue nggak pernah tahu bahwa begitu banyak ‘cibiran’ terhadap profesi mulia ini. Sebagian orang mungkin kaget dengan pilihan gue, banyak yang bilang gue ini bukan tipikal banget Ibu rumah tangga, kayaknya buat ngurus keluarga doang itu bukan Yuris banget. Ahh, kamu sok tahu…hahaha. Dan ya memang, dari keluarga nyokap, sembilan puluh persen jadi Ibu yang bekerja. Soo, kuping siap panas ya?

Sebenernya  gue orangnya nggak bisa diem, banyak hal dalam hidup yang pengen gue raih, yang pengen gue kerjakan. Gue juga bermimpi menjadi wanita karier sukses yang selalu pake stiletto kemana-mana, punya gaji besar (iyaalaahh..), hidup dari meeting ke meeting, pokoknya orang sibuk banget. Efek mabok kebanyakan nonton film dengan setting New York, hahaha.

Dan salah satu mimpi yang gue kejar mati-matian adalah kerja jadi jurnalis. Melenceng? Iya banget! Kuliah Arsitektur kok mimpi jadi jurnalis? Itulah salahnya gue, mencintai dunia menulis, tapi kuliah di tempat yang jauh dari cita-cita. Salahkan diri ini yang begitu plin plan dalam memutuskan akan kuliah dimana dan mengambil jurusan yang mana. Ya udah sih ya, gue nggak mau bahas galau-galaunya masa milih jurusan. Malu ati kalo inget, pengen jambak rambut sendiri, plus cakar-cakar muka (hmmm, sadisss hihihi).

Gue selalu memiliki prinsip, usaha terus walau terlambat dan harus berputar-putar. Bermimpi itu adalah hak segala bangsa eh manusia, haha. Dan menjadi jurnalis adalah ambisi tersendiri, udah kayak tujuan hidup gue di dunia ini adalah menjadi jurnalis. Ambisius banget.

Setelah menikah dan hamil, gue sempet berhenti bekerja, tapi tetap bertekad harus balik kerja dan gue pun melamar ke MRA Media Group, kebetulan salah satu majalahnya yang keren banget lagi buka lowongan (gue nggak mau nyebutin nama merk, ntar terngiang-ngiang, halah!). Dan kesempatan itu datang. Gue yang waktu itu baru melahirkan mengalami euforia besar-besaran. Gue meminta kakak gue cuti kerja untuk jagain Dave yang baru berusia empat bulan. Subuh buta gue udah pergi ke Jakarta untuk interview, cuma mampu menyediakan empat botol ASIP buat Dave (tega banget ya gue? Huhuhu sediihhh!). Dan gue berharap, gue bisa cepat pulang karena takut Dave kelaparan.

Semuanya mulus. Sampai pada titik pertanyaan, “nggak apa-apa bayi kamu sering kamu tinggal? Karena pekerjaan ini sangat menuntut dan menyita waktu.”

Gue tahu menjadi jurnalis itu pasti menyita waktu dan harus terjun ke lapangan, apalagi ini salah satu majalah prestigious yang pasti menuntut kerjaan tepat waktu dan gila-gilaan. Tekanannya pasti jauh lebih besar,  MRA Group gitu lhoo. Nggak mungkin gue kerja ongkang-ongkang kaki dan duduk cantik nine to five. Iya nggak?

Mimpi jadi Carrie Bradshaw udah mengakar di kepala, gue mengatakan sanggup. Anything..yang penting gue kerja jadi jurnalis. Menguras waktu pun gue nggak apa-apa. Lagian ASI kan bisa dipumping, Dave bisa minum ASIP. Toh di luaran sana jutaan jurnalis perempuan pasti punya anak juga, kenapa gue harus takut?

Gue harus siap bekerja dalam satu minggu, itu artinya gue harus mengurus kepindahan ke Jakarta segera. Suami masih ngekos di Jakarta, PR banget buat cari kontrakan rumah dan cari babysitter buat Dave. Bukan hal yang mudah, tapi gue udah bertekad. Ini mimpi gue, ini yang harus gue raih.Ini tuh kayak ‘dreams come true’ banget, gayung bersambut. Gue udah membayangkan yang indah-indah. Bukannya lebay, namanya juga pekerjaan impian. Harap maklum, hehe.

Dan hidup itu memang pilihan.

Pulang ke Bandung gue terjebak macet gila-gilaan. Gue sampe frustasi di jalan, ASI gue merembes kemana-mana, belum lagi cenut-cenutnya yang menyiksa (Busui pasti paham penderitaan ini T_T, seharian boook!). Kakak gue mengirim foto Dave yang lagi ngemut tangan. It’s break my heart, apalagi pas tahu susunya abis, dan Dave terpaksa minum air putih karena nangis terus.  Gue ngerasa nggak berguna banget sebagai ibu, rasanya pengen lari pulang dan peluk Dave sambil minta maaf. Tapi stuck di jalanan Jakarta, nggak memungkinkan gue untuk lari dan terbang. I’m not a superwoman, huhuhu.

Hampir jam sembilan malam gue baru sampe Bandung. Berapa jam coba gue ninggalin Dave? Enam belas jam! Tangisan Dave saat melihat gue itu bikin gue patah hati berulang-ulang. Secepat kilat gue ganti baju dan cuci tangan, kemudian menggendongnya sambil ikutan nangis. Setelah menjadi Ibu, gue lebih cengeng dan baperan.

Suami gue nggak pernah melarang gue untuk balik kerja, nggak ada batasan atau suami tukang ngatur. Dan perlu diakui, hidup berjauhan setelah menikah itu lumayan menguras hati. Selain itu, gue waktu itu merasa butuh uang lebih buat membangun keluarga (yailah gaya bener gue). Intinya kita berdua punya mimpi untuk memiliki rumah sendiri, kendaraan sendiri, dan uang untuk hidup yang lebih baik (boleh dibaca : banyak jajan, banyak liburan XD).

Dalam dua hari gue harus memutuskan, ngambil kerjaan jadi jurnalis, yang artinya mimpi gue tercapai, atau menjadi Ibu rumah tangga. Gue mikir lama banget. Melepaskan mimpi, fokus pada karier, atau menjadi full time mom, fokus pada anak dan keluarga.

Berat. Sulit. You name it. Satu sisi gue butuh aktualisasi diri, satu sisi punya uang sendiri, dan satu sisi..ini yang paling berat. Anak. Ternyata gue nggak setangguh itu untuk berada di jalur mimpi. Gue memilih keluarga, dan melepaskan mimpi gue, melupakan karier yang diidam-idamkan, melupakan ingin menjadi seorang Carrie Bradshaw dan Andrea Sachs sekaligus (Andrea itu tokoh dari novel super kece, The Devil Wears Prada XD). Nggak ada yang tahu kan betapa sakitnya dan sedihnya gue saat harus memilih? *diiringi lagu “O”-nya Coldplay.

Mungkin iya anak bisa dijaga babysitter, tapi rasa percaya gue sama orang tuh tipis banget. Dan Dave lebih membutuhkan gue dibanding apa pun. Gue ibunya, dia berhak mendapatkan perhatian full dari gue. Jauh di dasar hati, gue pun takut nggak bisa menjadi ibu yang baik, menjadi ibu yang gagal dalam mendidik anak. Begitu besar tekanan dalam diri gue sendiri. Gue nggak mau Dave kehilangan sosok ibunya. Gue pengen utuh ada di dekatnya. Hanya Allah SWT yang tahu kenapa gue begitu mendamba menjadi seorang ibu seutuhnya.

Dan gue percaya rezeki itu sudah diatur oleh Allah SWT, gue nggak perlu takut hidup susah (tsahhh).

Setiap gue mendengarkan The City of Blinding Lights-nya U2, gue cuma bisa senyum miris. Lagu itu yang nemenin gue mengejar mimpi. Mimpi seorang perempuan yang ngebet banget jadi jurnalis. Membayangkan tulisan-tulisan gue ada di kolom majalah tiap bulan, menulis setiap hari. Merinding membayangkannya. Menggairahkan.*nyusut airmata

Gue tahu, karier menjadi jurnalis sudah masuk kotak “goodbye”, tapi semangat menulis gue jangan sampe padam. Memiliki anak nggak menghalangi gue buat berkarya. Diawali dari menulis cerpen, sampe akhirnya menulis novel sendiri, Broken Vow (promo teteupp :D). Buat gue itu adalah pencapaian luar biasa di tengah mengurus keluarga. Yang penting anak-anak selalu mendapatkan perhatian dan kasih sayang dari gue. Mimpi gue mah bisa nunggu, tapi melihat anak-anak tumbuh itu nggak bisa nunggu. Waktu terkadang berlari sangat cepat.

Tapi, seketika…kenyamanan itu terganggu. Hati gue gundah dan pedih saat seseorang yang begitu dekat dengan gue mengatakan kalau gue telah gagal menjadi seseorang. Gagal memiliki pekerjaan dan karier, percuma menjadi sarjana, percuma sekolah tinggi-tinggi. Gue seorang pengangguran dan gagal. Itu menyakiti hati gue.

Gue menangis. Benarkah gue menjadi seorang yang gagal? Tidak menghasilkan uang dan hanya bergantung pada suami?

Itu semua memukul perasaan gue dengan telak, meninju ulu hati tepat sasaran.

Salahkah ‘hanya’ menjadi seorang Ibu rumah tangga? Salahkah menjadi seorang sarjana ‘pengangguran’? Salahkah  tidak memiliki pekerjaan dan punya uang sendiri?

Dan gue berdiskusi dengan suami untuk mencari pekerjaan setelah si bungsu dua tahun. Gue kena serangan panik waktu itu. Gue tahu sudah enam tahun lebih gue nggak bekerja, nggak punya karier yang mentereng. Tapi suami hanya menatap gue dan berkata, “Sayang, memangnya kamu mau gaji berapa? Dan kamu mau kerja apa?”

Dueeng! Iya, gue mau kerja apa? Dunia Arsitektur udah gue tinggalkan bertahun-tahun lamanya, gue cuma jadi asisten suami, itu pun sebatas interior. Skill Autocad gue udah masuk jurang yang dalam. Menjadi jurnalis? Gue nggak punya pengalaman apa-apa, selain nulis cerpen dan novel. Gue mau kerja kantoran dimana? Itu membuat gue sedikit depresi. Kata GAGAL membentang di depan wajah.

Suami sambil ketawa bilang, “Ntar kalo kamu kerja banyak godaan, ntar ada yang naksir.”

Diih, siapa yang mau naksir sama ibu-ibu dua anak yang udah turun mesin dan menggendut? Yang bau ASI dan ompol anaknya? Tapi dia memang agak protektif soal masalah itu, mungkin masih merasa istrinya masih sekurus Selena Gomez hahaha. *lempar timbangan ke Timbuktu

Suami meyakinkan gue kalo gue bukan orang yang gagal, bahwa setiap keluarga memiliki keputusan dan pilihan masing-masing. Bahwa menjadi Ibu rumah tangga itu sangat mulia, dan anak-anak butuh ibunya. Dia bilang, gue udah hebat, bekerja nggak melulu di luar rumah. Dan gue nanya, “kalo anak-anak udah gede, aku ngapain? Bengong?”, suami cuma ketawa, “Mami bisa ke salon kapan pun, baca kapan pun, bisa tidur pulas, dan bisa buka usaha sendiri..”. Terkadang dia emang sweet banget. Tapi kata gagal itu masih mengganggu. Kayak disilet-silet terus dikasih jeruk nipis. Pedih, Jendral!

Ahh, jadi teringat percakapan konyol gue dengan suami beberapa bulan yang lalu. Pulang dia kantor, gue duduk diam. Dia nanya, “kenapa?” sambil buka sepatu, mukanya udah was-was aja. Males kan? Sama dia tuh nggak bisa boong, duduk diam aja bawaannya curiga. Gue bilang, “bosen. Di rumah terus. Enak ya kalo kerja kantoran, pulang kantor disambut anak-anak. Mumet pun langsung ilang, cuma liat senyumnya anak-anak. Kalo aku? Mumet sama rumah liat apa coba?”. Suami menatap gue lempeung, “ya udah, besok-besok aku ajakin kamu liat gedung-gedung perkantoran kalo lagi mumet.”, zzzz…”nggak lucu!”, bantal sofa pun melayang ke tubuhnya. Nyebelin!

Gue kembali merenung, memikirkan hakekat gue sebagai seorang ibu. Ya, gue udah melupakan mimpi jadi jurnalis. Mengorbankan keinginan pribadi demi keluarga, mengesampingkan sisi egois gue sebagai manusia yang kepengen eksis dan butuh aktualisasi diri. Dan seluruh waktu gue berikan hanya demi keluarga. Btw, kesannya gue ‘heroik’ banget ya? Demi keluarga heheh. Ahhh, apa siihh Ibu rumah tangga doang, nggak punya kerjaan. *Besok-besok bawa selotip kemana-mana, biar pada mingkem (sadis ;P)

Dan itu tidak mengganggu gue. Ya, terkadang gue lelah, jenuh, dan pengen nangis keras-keras sama dunia gue ini. Tapi di sisi lain, ini adalah tempat ternyaman gue, kebahagiaan gue. Keluarga kecil ini mengubah gue, bukan hanya kepribadian, tapi cara gue berpikir.

Pernah sih sedikit nyesek, waktu itu lagi ngambil raport anak. “Jadi pekerjaan ibu?”, gue agak tersentak, “hanya ibu rumah tangga”. Senyap sesaat, “Dave sama saya sepanjang waktu..” gue tersenyum manis. Rasanya pengen nambahin saya sesekali nulis, tapi gue kan bukan Dewi Lestari, seorang penulis terkenal. Dan lagian nggak ada gunanya menjelaskan, karena pekerjaan gue menulis hanya paruh waktu alias kalo ada waktunya. Biarlah yang bangga itu cuma suami dan anak-anak gue. Setidaknya gue nggak “menganggur” dan menghasilkan sesuatu.

Bagi dunia gue bukan apa-apa dan siapa, hanya seorang Ibu rumah tangga biasa kebanyakan. Tapi mungkin, di mata anak-anak gue, gue adalah segalanya. Dan itu cukup buat gue sekarang. Gue senang dengan ketergantungan mereka pada gue, walau sering bikin ‘sakit kepala’, tapi mereka lebih banyak membuat gue tertawa. Hidup gue nggak suram lagi. Mereka membuat gue lebih sering bersyukur.

Tiada harta yang lebih berharga dari anak-anak gue. Gue nggak peduli lagi sama omongan orang. Ini hidup gue, pilihan gue. Dan gue nggak mau jauh dari anak-anak, bukan hanya secara fisik saja, tapi hati.

Gue menggantungkan harapan dan impian pada anak-anak. Biarlah gue menjadi orang kebanyakan, hanya ibu rumah tangga biasa. Tapi di dalam hati yang paling dalam, gue menginginkan anak-anak gue menjadi orang yang sukses. Sukses dalam ibadahnya, maupun kariernya. Apalagi anak-anak gue laki dua-duanya. Butuh effort yang lebih besar, gue kan nggak mau ntar anak-anak gue susah, apalagi bikin sengsara anak orang, hehe.

Kalau pun nanti hasilnya nggak sesuai harapan gue. It’s okay, setidaknya gue berusaha dalam membesarkaan anak-anak dan selalu mendampinginya. Kalau bicara takdir kan susah ya boook? Balik lagi, manusia berusaha, Allah SWT yang menentukan (benerin kerudung).

Dan terpenting selama rezeki itu bisa dicari dan suami masih ngasih jatah ‘Ria Miranda’ tiap bulan (minta dijitak banget. Woyy! Ini cuma RM gitu lhooo, bukan berlian, bukan Hermes dan LV, jadi kalem aja oke? XD), nggak apa-apa lhaaa yaaa gue jumpalitan sama anak-anak, bau acemnya mereka, dasteran mulu di rumah, dan nonton sinetron ala-ala D’Hijabers itu (oohh, no!!), yang penting nggak saban jam nongkrongin Uttaran kayak nyokap gue haha, nggak apa-apa less makeup, daripada ntar dikomentari, “di rumah aja sis, tapi muka udah kayak mau ngelenong”. Sakit sis, banyak komentar, hehehe.

Menjadi Ibu rumah tangga bukan sekedar ‘hanya’, begitu banyak tantangan yang harus dihadapi, dan ujian kesabaran pun luar biasa. Belum lagi di luaran sana dibilang cupu, nggak punya teman gaul, nggak punya wawasan, dan bikin cepat tua. Ahh, orang emang enak banget kalo soal mengomentari. Seakan-akan dunia mereka lebih baik. Mungkin mereka kebanyakan piknik atau mungkin kurang piknik, hehehe.

Tenang aja, gue merencanakan hidup gue kok. Sekali lagi, setiap keluarga, terutama suami dan istri pasti memiliki keputusan yang disepakati bersama. Nggak ada yang merasa dirugikan kok. Semuanya Senang.

My family is my happiness.

Oh, ya please, jangan sekali-kali bilang jadi Ibu rumah tangga itu membosankan kalo kamu nggak pernah merasakannya.

Ini hanya curhatan Ibu rumah tangga biasa, dan kami nggak perlu dikasihani :).

 

Yuris Afrizal

Behind The Book – Broken Vow

Behind The Book – Broken Vow

image

Tiga Sahabat. Tiga Pernikahan. Tiga Luka

“If I could turn back time, if I could. Sebuah kalimat yang sebenarnya enggak perlu dipikirkan karena semuanya sudah lewat, tidak akan bisa kembali untuk dapat diperbaiki.”

“Kita tidak bisa memilih dengan siapa kita akan jatuh cinta karena hati tidak bisa diprediksi. Begitu juga dengan jodoh, keinginan dan harapan kadang berbenturan dengan realitas yang ada.”

“Untuk apa aku bertahan bila dia sudah tidak menginginkanku lagi?” – Irena, Nadya, Amara

Sedikit kutipan quotes dari novel Broken Vow. Novel pertama gue yang akhirnya ‘mejeng’ juga di toko-toko buku kesayangan kita semua ;p. Sebenarnya pengen banget gue kutip quotes atau nulis sneak peek yang agak panjangan, tapi ntar gue malah bablas tulis semua isi novelnya, haha.

Novel Broken Vow ini boleh dibilang novel perempuan banget. Dan gue mengambil tema yang dekat dengan perempuan, yaitu pernikahan. Sebenarnya pernikahan itu kan topik yang sensitif dan agak berat, lebih dari semilyar konflik ada di sana, jutaan misteri dan kumpulan drama. Tidak ada pernikahan yang sempurna. Dan gue nggak cuma mengambil cerita manisnya aja dari sebuah pernikahan. Karena dalam realita yang ada, nggak semua orang beruntung dengan pernikahannya.

Novel ini bukan hanya bercerita soal sebuah kegagalan hubungan, kisah sedih, atau penderitaan hati yang akut. Tapi ini juga tentang ‘the true of happiness’. Bahagia itu pilihan, dan dalam kehidupan yang nyata kadang kita nggak menyadari apa esensi kebahagiaan itu sendiri. Contoh, ada yang bertahan dengan hubungan yang menyakitkan, nggak peduli disakiti seperti apa. Ada orang yang memilih pergi meninggalkan orang yang dicintainya untuk alasan yang dia pun nggak tahu. Dan ada yang bertahan dalam suatu hubungan hanya demi status. Dan itu semua karena cinta. Dengan memiliki cinta, itu adalah kebahagiaan tersendiri. Tapi saat cinta hilang, mungkin itu saatnya mencari kebahagiaan yang baru, atau cinta baru. Jadi ujung-ujungnya novel ini tentang cinta. Cinta yang tak selamanya indah.

“Dalam pernikahan bentuk cinta menjadi berbeda. Saat terluka dan sakit hati sepertinya cinta itu akan hilang dan menguap, tidak ada istilah bisa saling melupakan bekas luka yang tercetak jelas, dan mulai belajar saling jatuh cinta lagi. Yang ada kita selesai. Melupakan semua janji suci yang sudah patah dan rusak. Enggak ada alasan untuk saling mencintai lagi. Forgiven but not forgotten.” – Amara

Sebenernya nggak sulit buat gue untuk mendapatkan inspirasi kisah sedih. Sadness is everywhere. Apalagi setelah mendengar kisah sedih seseorang. Entah kenapa gue pengen menuliskannya dalam sebuah novel, bukan lagi sekedar curahan hati gue di blog. Gue yang dari kecil dicekoki kisah Cinderella dengan jargon kalimat terkenalnya yang nempel di otak, ‘happily ever after’, justru membuka pikiran gue. Nggak semua kisah berakhir dengan happily ever after, karena ada juga yang namanya kisah happily never after (ngutip judul dari FOX crime). Tentu saja ada yang berakhir bahagia, tapi menuju ever after-nya itu pasti banyak cobaannya. Dari batu kerikil, batu akik sih rada gak mungkin ya? Hehe, batu yang tajam, gunung es, jurang yang curam, tebing yang terjal, atau mungkin jalanan yang rata tapi panas karena bara api (sadisss T_T).

Tapi yang namanya nulis, apalagi novel tentunya nggak mungkin mulus kayak jalan tol, eh tapi jalan tol di Jakarta sih sering macet. Ya begitulah keadaannya, nulis Broken Vow ini sempat macet dan kesulitan ide. Seperti gue bilang inspirasi mah banyak, tapi untuk merangkai sebuah cerita, dan menjadi cerita yang menarik itu nggak gampang. Perlu jutaan kali semedi di Gunung Kidul. Iya gue tahu, bosen ya gue semedi di sana terus? Maklum tempat favorit hehehe XD.

Dan mungkin ini rada ajaib, gue dapat sebuah inspirasi yang pada akhirnya jadi titik ide buat keseluruhan cerita novel ini, dan di tempat yang nggak diduga sama sekali, yaitu Jonas Photo. Kebetulan waktu itu gue lagi nunggu buat foto keluarga. Tahu kan antrian Jonas itu lama? Bisa nonton 3 episode The Walking Dead saking lamanya (zzzzz…). Biar nggak mati bosen, gue lihat-lihat gallery fotonya. Nggak tahu kenapa, tiba-tiba aja gue ngebatin (bahasa gue ngenes banget yee?). Ya pokoknya tiba-tiba aja ada pertanyaan di kepala gue, “beneran nggak sih mereka BAHAGIA?” (capslock tiba-tiba jebol).

Pernah kepikiran nggak kalau hampir lima puluh persen dari foto-foto itu ‘fake’? Siapa tau loohh, si bapak punya affair, anaknya kurang perhatian ortunya, istri yg merasa diabaikan, atau lebih parah dua orang yang menikah tapi nggak saling mencintai. Dan pastinya satu lembar foto keluarga punya sejuta cerita, iya nggak?

Dari situ munculah ide cerita yang diawali tokoh Amara, dan yang tadinya gue stuck di satu cerita dan satu tokoh, akhirnya kepikiran bikin tiga tokoh sekaligus dengan sekelumit masalahnya masing-masing. Kenapa tiga? Kalau dua kurang rame, hahaha. Kemudian gue bikin tokoh Nadya dan Irena. Yang tadinya ‘centre’nya itu Amara, gue ubah semua. Gue memutuskan bikin novel dengan tiga point of view dan ketiganya memakai POV 1. Karena biar lebih bisa menghayati karakter tokoh-tokohnya, dan lebih bisa ngerasain apa yang dirasa ketiganya.

Susah nggak sih bikin tiga tokoh sekaligus? Apalagi karakternya beda-beda? Susah itu relatif. Tapi di situ keseruannya, gue jadi punya kepribadian ganda, hahaha joking. Kadang kalau gue jenuh sama cerita tokoh yang satu, bisa loncat ke cerita tokoh yang lainnya. Dan nanti gue bikin titik temu, biar plotnya nggak acak-acakan alias tetap mengalir. Dan kenapa dibikin bersahabat, karena sedeket-deketnya kita sama sahabat, konflik itu pasti ada, salahpaham, salah persepsi udah pasti terjadi. nggak mungkin sobatan lempeung-lempeung aja kan? Kalau tokoh A,B, dan C nggak saling terkait gue bakal lebih bingung lagi ngasih benang merahnya dimana, apalagi ngasih konflik. Bisa pusing ‘pala berbi mikirinnya ;p.

Dan sekarang gue ingin menjabarkan karakter-karakter tokoh yang ada di novel Broken Vow. Untuk membuat suatu karakter tokoh gue juga melakukan riset, tapi riset kecil-kecilan. Kayak sering mengamati dan ngobrol sama orang, atau baca-baca majalah. Yang penting tokoh yang gue karang dan tulis itu terkesan ‘real’.

Gue bikin karakter Amara yang kalem, tipe peri baik hati yang cantik jelita (ada. Beneran ada orang kayak gini di dunia nyata). Karakter Amara itu buat gue spesial banget, inspirasi sosoknya gue dapet dari perempuan yang emang bak ‘Goddess’ banget secara visual ya. Jadi gue pernah ketemu dan ngobrol sama perempuan yang cantiknya luar biasa dan anggunnya ngalahin putri Keraton. Dia salah satu PR juga disebuah hotel, deket Kemang (nggak bisa gue sebutin. RHS alias rahasia hehe). Gue speechless waktu ngobrol sama dia, my God…ada ya orang cantiknya begini banget? Sumpah..Dian Sastro lewat, Raisa juga! Cara bicaranya teratur, lembut, dan anggun. Jujur aja gue minder setengah mati, kayaknya mbak cantik ini les kepribadian di John Robert Power deh (nggak terima ada perempuan yang almost perfect T_T).

Irena tipe perempuan yang superwoman, keibuan, pengertian, dan humble. Tapi di balik itu semua Irena juga keras, kaku, dan egois. Karakter Irena ini sebenernya ‘umum’, banyak ditemui di sekitar kita. Wanita karier sekaligus ibu rumah tangga. Yang terkadang dituntut apa-apa harus sendiri. Membayangkan Irena itu, keibuan tapi bermuka judes, selalu ngecek jam, dimukanya selalu tersirat ‘hurry up!’, sering ngerutin kening, panikan. Tapi kalau lagi sendirian suka nangis sendiri, sedih sendiri, capek sendiri (ihh, kasian banget sih Ris! Elo bikin tokoh begini banget). Ampuun jangan dimarahin! Jadi judes dan ruwet karena Irena punya masalah besar kan? Iya kan? (pembelaan :D).

Nadya, si easy going, cuek, cheerful, sedikit keras kepala, dan setia (awwhh, cantik nggak? Bayangin aja Raisa. Itu mah cantik banget atuh T_T). Hmm, intinya sih Nadya itu tipe perempuan urban, yang terkesan suka hura-hura, modis, dan nggak ribet sama hidupnya. Tapi sekalinya jatuh cinta bisa melankolis banget. Tipe cewek yang kalau jatuh cinta habis-habisan tapi sok sok nggak butuh. Secara visual, gue emang ngebayangin Raisa. Kayaknya lebih gampang nulis cerita sambil ngebayangin mukanya kayak gimana. Tapi mungkin secara sifat, beda jauh kali ya? Ya kali gue kenal dan tahu Raisa luar dalam (T_T).

Dari segi cerita, gue bikin kisah Amara bak Cinderella. Lembut, menawan, cantik. Siapa coba yang nggak iri liatnya? Tapi sekali lagi, cuma kisah Cinderella yg berakhir happily ever after. Kisah Amara yang hampir seratus persen bikin ngiri kaum perempuan itu, ternyata nggak segitunya. Yah, rumput tetangga selalu kelihatan lebih hijau, dan berlian yang dipake orang lebih berkilau kan? (pepatah hasil ngarang). Dan kebahagiaan itu nggak bisa dibeli sama uang.

Kisah Irena mungkin banyak yang mengalami. Kadang kita nggak sadar, kita lebih mudah menyakiti orang yang kita cinta dan yang mencintai kita. Padahal kalau saling cinta, kenapa harus saling menyakiti? Dan sesuper-supernya (kata apalah ini T_T) seorang perempuan, bisa menjadi rapuh dan hancur juga. Nggak tega sih pas nulis cerita soal Irena ini. Jujur gue agak kesulitan untuk menjabarkan setiap adegannya. Horror banget.

Tentang Nadya. Nulis cerita Nadya ini lebih gampang dan fun, karena separuh ehhmm sembilan puluh persen kaum perempuan mengalami kegalauan soal pernikahan. Hayoo ngaku! Hahaha. Nikah nggak ya? Aku maunya nikah sama dia, tapi kenapa dianya gitu sih? Atau kenapa kita harus menikah? Pertanyaan-pertanyaan yang sering banget muncul pada kaum perempuan. Nadya menikah karena status. Tapi terkadang dicintai itu lebih menyenangkan daripada mencintai.

Lika-liku pernikahan menimbulkan konflik di antara ketiganya. Hmmm, bukannya sahabat itu tempatnya suka dan duka? Tempat mengadu, tempat haha hihi, tempat dimana segalanya sangat menyenangkan. Tapi namanya juga perempuan, kadang suka sensitif, kadang nggak peka, selalu pake perasaan, dan cepet tersinggung. Apalagi kalau lagi PMS. Beuh, satu rumah bisa kena semprot, satu kantor bisa dicemberutin, kecuali Bos (hahaha). Tersinggung dikit, banjir airmata. Dan nggak selamanya persahabatan bisa langgeng. Sebenernya kehilangan sahabat itu lebih menyakitkan dibanding kehilangan pacar. Itu buat gue sih..hahaha…pacar itu bisa dicari, tapi sahabat sejati?

Oke. Sekarang kita bahas the boys alias tokoh laki-lakinya.

Kenalkan Nathan, seorang don juan ganteng yang kaya raya. Tapi sayang ego lelakinya terlalu menguasai dia. Nathan punya segalanya, buat dia cinta bisa dibeli. Hidup dengan Nathan nggak cukup dengan sempurna. Hidup dengan Nathan itu harus punya hati sekuat baja. Karena buat Nathan, love is never enough. Saat ngebayangin tokoh Nathan, jujur aja bikin deg-degan sendiri. Ngerasain gimana rasanya jantung mau copot ketemu cowok kayak Nathan (pingsan). Gimana Amara ya?

Dion, the gentleman. Gue pun klepek-klepek saat nulis dia. Dion itu sweet, care, dan yang pasti nggak pernah main-main sama cewek yang dia sayang. Ganteng? Udah pasti. Sempurna banget nggak sih? Hey, nobody perfect! Tapi cewek mana pun pasti luluh sama Dion (nyengir lebar). Karena mencintai itu membuat kita menjadi egois. Egois untuk memiliki. Tapi cinta tidak bisa dipaksa, seberapa pun kita egois untuk memilikinya. Cinta bertepuk sebelah tangan itu menyakitkan, tapi lebih sakit lagi kalau melihat orang yang kita cintai tidak bahagia. Tidak bahagia hidup dengan kita (nyesek).

Arjuna, the family man. Tipe-tipe suami idaman. Siapa sih yang nggak pengen punya suami yang sayang keluarga, yang keluarga tuh nomor satu buat dia? Istilahnya, ‘home is when i’m with him’. Tapi sifat seseorang yang sebenarnya bisa keluar saat dia dilanda masalah. Bagaimana bisa seorang malaikat pelindung menyakiti orang yang dilindunginya? Dan Arjuna sendiri terjebak dalam pilihan, keluarga kecilnya atau keluarga besarnya?

Dan terakhir. Leo. Cinta matinya Nadya. Dulu. Engineer yang humoris, cuek, dan lebih cinta kariernya dibanding pacarnya. Laki-laki tipe begini banyak berkeliaran di luar sana. Fokus sama karier, memandang cinta itu sebelah mata. Tapi satu yang mereka lupa. Cinta tidak bisa menunggu. Cinta butuh kepastian dan cinta perlu dijaga. Kesuksesan masih bisa diraih, tapi cinta yang hilang sulit untuk diraih kembali (Tsaahhh. Nyusut airmata).

Sekian tentang para tokoh.

Dalam perjalanan penulisan novel ini, gue banyak dengerin lagu. Selain untuk membangun mood, juga untuk membantu gue dalam membayangkan apa yang akan gue tulis. Dengan lagu, gue lebih mudah bercerita. Nulis novel ini gue bikin kayak potongan film. Dan lagunya juga nggak asal nyomot. Gue pikirin banget lagu apa yang bisa bikin gue terhanyut dan membayangkannya. Ala-ala soundtrack gitu, gaya kan? Hahaha.

Lagu untuk Nadya itu kebanyakannya lagu Raisa. Emang pas banget sama isi cerita Nadya. Dari Mantan Terindah, Apalah Arti Menunggu, LDR, dan Pemeran Utama. Dan satu lagu dari Alanis Morissette, Simple Together. Saat lagi nulis Nadya, ini yang gue dengerin bolak-balik. Biar lebih berasa.

Lagu untuk Amara. Judul lagunya sama dengan judul novel ini, Broken Vow-nya Lara Fabian. I dunno ya, gue lebih suka versi ini dibanding Josh Groban. Lebih dapet feel-nya, sakit hatinya, sedihnya. Lagu lainnya Jennifer Hudson – And I Am Telling You I’m Not Going, Brian Mcknight – One Last Cry, Madonna – I’ll Remember. Sebenernya lagu I’m Not The Only One –nya Sam Smith cocok juga, tapi novelnya udah kelar pas lagu itu muncul, hahaha, nggak pas yee?

Lagu untuk Irena. Cocoknya sih lagunya Thirty Seconds To Mars yang The Kill atau This Is War, hahaha becanda dehh ahhh. Irena’s song, Alanis Morissette – That I Would Be Good, Adele – Turning Table, Sara Bareilles – Brave.

Tapi ada beberapa lagu yang mewakili keseluruhan cerita. Biasanya gue duduk depan laptop, earphone di kuping, dan dengerin lagunya sambil tutup mata. Gue membayangkan potongan-potongan cerita yang bakal gue tulis, dan bagaimana alur ceritanya. Ini cara paling mudah untuk mengumpulkan semua emosi, dari sedih, marah, kecewa, sakit hati, dan bahagia.

Dewi Sandra – Mati Rasa, Allure – Last Chance, Christina Perri – Human. Tiga lagu ini beneran sedih banget, nangis-nangis dengernya. Dave Koz feat. India Arie – It Might Be You, kadang gue butuh lagu yang romantis juga hahaha. Neyo – Let Me Love You, Dewa – Risalah Hati. Hmm, mewakili perasaannya Dion buat Nadya. Eric Clapton – Wonderful Tonight, tahu dong ini lagu gombalnya Nathan buat Amara XD. Jason Mraz – I Won’t Give Up, lagu kenangannya Arjuna dan Irena.

Niat banget ya gue bikin list lagunya? Yah, metoda menulis orang kan lain-lain ya? Musik ngebantu gue banget. Dan kadang sukses bikin gue nangis sambil nulis. Seperti gue bilang inspirasi itu bisa darimana aja, dari sepotong lirik sedih aja, bisa jadi satu cerita. Harus jeli emang sama kuping, jangan mata aja yang sibuk cari inspirasi. Pesan dari mami, eaaaa…

Novel Broken Vow gue tulis kurang lebih dua bulan kurang. Itu dalam kondisi belum kena cut dan editing alias mentahnya. Untuk proses editing by my self aja butuh satu tahun. Karena gue rombak lumayan banyak, dan biar lebih pede buat dikirim ke penerbit. Dan ternyata nggak sia-sia gue perbaiki naskahnya selama hampir setahun itu. Naskah gue diterima dengan baik oleh tim Stiletto Book. HOREEE! Dan itu bikin gue pengen salto keliling Gelora Bung Karno saking senengnya, hahaha.

Tahu nggak sih? Ternyata proses editing selanjutnya nggak semudah yang dibayangkan. Dengan sadisnya, Mbak Weka, editor gue tersayang, minta buat cut lima puluh halaman! Ohemjiii? Seriously? Neik, lima puluh halaman itu artinya seperempat cerita novel gue. Gue langsung pingsan….gila kan? Jadi sebenernya gue nangis itu bukan karena nulis ceritanya, tapi karena harus cut lima puluh halaman, hehehe joking! Tapi jadinya ya emang keren banget. Walau tiga cerita, porsinya teteup sama dan ending-nya juga nggak berubah. Hanya ini itu yang dipotong, tapi nggak merubah seluruh isi novel. Editor gue emang juara! Toss dulu ahh, darlaaa!

Dan ada permintaan khusus dari Mbak editorku. Cerita Irena sebenernya rada-rada sadis, jadi gue diminta buat mengurangi kesadisan gue. Mungkin biar nggak jadi novel thriller T_T, hahaha. Dan ending Amara pun sedikit minta dipoles biar pembaca nggak kecewa. Iyalah, Amara, The goddess gitu lho..hehehe. Kayaknya cuma cerita Nadya yang lulus sensor, walau ada beberapa part yang minta diubah. Kayak nulis skripsi neik, tiap bab diperiksa. Dan ada beberapa bab yang gue hilangkan. Dan legaaaa rasanya setelah semuanya di-approve. Yay! Skripsi gue kelar eh novel gue ;p.

Sebenernya banyak banget yang pengen gue sharing tentang Broken Vow ini, tapi segini dulu kali ya? Ini aja kayaknya udah panjaaaang banget, hehehe.

Okay, sekian cerita behind the book of Broken Vow-nya. Semoga setelah baca prosesnya, jadi berminat buat beli dan baca novelnya. Dan sebaliknya, kalau udah baca jadi makin suka sama novelnya, terus beli lagi novelnya XD.

By the way. Bahagia itu nggak perlu dicari, karena bahagia itu ada dalam diri kita. Happiness is you! Toss for happiness!
image.jpg
Xoxo,

Yuris Afrizal ​

Life Begins At 30

Tags

Life begins at 30. Hmm..mungkin ini memang ungkapan yg cukup pas buat gue saat ini. Iyalah..setelah berdarah-darah berjuang untuk membuat sebuah karya, pada akhirnya novel gue ada yg ‘melirik’. Itu rasanya kayak dapet lotre semilyar. Woohoo!

Buat gue menulis itu bukan sekedar hobby. Buat gue menulis itu adalah kebebasan. Kebebasan menuangkan apa aja yg ada di dalam kepala gue, bukan sekedar unek-unek atau curhat colongan, tapi apa yg pengen gue bagi, berbagi pikiran dan rasa.

Gue memang orang yg sentimental. Padahal kalau dipikir-pikir, gue gak tergila-gila novel romansa. Gue suka buku dan novel apa aja, jenis apa aja. Kalau buat gue itu bagus, gue baca. Kalau buat gue itu jelek, satu halaman pun gak akan selesai.

Makanya dalam menulis pun gue berproses. Gue gak mau tulisan gue jadi sampah, yg orang pun baru baca satu kalimat pengen buang itu buku. Gue banyak baca, dan gue belajar menulis. Dulu metoda gue menulis itu pake kerangka karangan, kayak tugas Bahasa Indonesia, apa poin-poin penting yang bakal membangun sebuah paragraf. Tapi lama-lama gue pusing dan sering mandek total, gak bisa mikir.

Gue membebaskan diri dari beban menulis itu harus bagus. Jadi gue milih menulis ‘freestyle’, hahaha parah ya gue? Dan hasilnya cukup lumayan, cukup bikin gue pede kirim naskah gue kemana-mana. Tapi kalau jalannya mulus kurang seru ya? Kudu aja ada kerikilnya, biar ada motivasi dan gak besar kepala :). Beberapa lomba cerpen, cerbung gue ikuti, tapi hasilnya selalu nihil. Apa tulisan gue pasaran, apa EYD gue yg payah, apa cerita gue jelek banget, dan apa gue emang gak bisa bercerita? Segala pertanyaan nyangkut di kepala. Gue sampe putus asa, dan pengen nyerah gitu aja. Kayaknya jadi penulis itu susah banget, huhuhu.

Kayak cari jodoh emang, He’s not into you (nyalain lagu Williams Brothers, Can’t Cry Hard Enough T_T). Begitu juga tulisan-tulisan gue, gak ada yg nanggepin. Kasian ya gue? Tapi gue bukan tipe orang yg menyerah gitu aja. Dan suatu hari cerpen gue yg berjudul, “Me Vs Einstein” diterbitin sama majalah Gogirl! tahun 2010, itu gue senengnya bukan kepalang. Honor gue waktu itu 500 ribu. Lumayan lah buat jajan.

Itu jadi kayak suntikan adrenalin buat gue. Gue mulai ikut lomba lagi. Salah satu situs ternama Nulisbuku.com bikin lomba E-love story, gue ikutan dong dan berharap menang. Tapi gue harus puas, dengan cerpen gue masuk ke kumpulan buku E-love story saja alias gak menang. Tapi setidaknya karya gue dihargai, iya gak?

Di tahun 2012, gue punya kesempatan jadi asisten editor penulis novel terkenal favorite gue, yaitu Ika Natassa. Gue waktu itu bantu mengedit novel Twivortiare terbitan Nulisbuku.com. itu pengalaman yg berharga banget. Dan bangganya setengah mati saat nama gue ada di ucapan terima kasih sang penulis. Lebay ya gue? Kalau gak lebay, bukan gue, hahahaha.

Dan di awal tahun 2013, gue nekat ikutan lomba nulis novel dengan tema, “Perempuan Dalam Cerita”, Bentang Pustaka. Gue seumur-umur kalau bikin novel acak-acakan, gak pernah selesai, mandek, dan akhirnya masuk recycle bin. Tapi kali ini entah dapat ide dari mana, mungkin karena hasil semedi berminggu-minggu di Gunung Kidul, akhirnya kelar juga itu novel. Hey, i’m just joking! Itu nanti gue ceritain khusus dalam ‘behind the scene’ Broken Vow. Ya kali film. Hehehe, iya ntar ada dibalik kisah Broken Vow yg bikin hati remuk redam itu. Ups! Spoiler! Comel banget ya tangan gue pengen cerita apa isi novel Broken Vow ini. Sebenernya ini judul masih tentatif, bisa berubah-ubah. Tergantung ibu editor.

Nah, ceritanya..Broken Vow ini lolos seleksi 20 besar dari 400 lebih naskah yang masuk ke Bentang Pustaka. Keren kan gue? Gue waktu dapet info itu langsung keleyengan, akhirnya! Ternyata novel gue gak jelek-elek amat, itu rasanya mau nangis saking senengnya. Tapi sayangnya kebahagiaan itu harus terhempas ke jurang terdalam. Setelah sebulan lebih menanti kepastian, naskah gue gak lolos. Aduuhh, itu yg namanya sedih, udah kayak apaan.

Tapi support dari suami gue dan Maya, my best friend bikin gue semangat lagi. Gue cuma percaya suami dan Maya untuk berbagi mimpi gue. Karena gue gak mau jadi bahan ketawaan, dan gak mau keliatan ngoyo dalam meraih impian. Gue menjaganya, karena pada saat gue gagal, mereka berdua yg bakal meluk gue dan selalu bilang, “elo bisa, Ris. Tulisan elo bagus kookk. Semangat! You can do it!”. Gak perlu pake basa-basi, karena dua orang itu paling jujur dalam mengomentari tulisan gue.

Mereka bukan pecinta buku, jadi gue butuh masukan lagi kenapa naskah gue gagal. Jadi gue minta tolong sama teman gue, yg waktu itu pernah kerja bareng jadi asisten Ika Natassa, yaitu Hanun Halida. Dia merespon dengan positif, hanya beberapa yg dia koreksi dan hampir mirip dengan komentar suami gue dan Maya.

Naskah Broken Vow gue rombak. Intinya gak gue rubah, tapi alurnya banyak gue ‘cut’ dan ganti. Bisa satu bab gue buang, dan ratusan kalimat gue ganti. Itu prosesnya hampir setahun penuh. Karena gue pengen hasil yg prefect. Gue ngerjainnya gak ngoyo, tapi setiap hari gue pasti baca dan tulis ulang. Itu pun nyuri-nyuri waktu di saat si Boy lagi tidur pulas pas siang hari (emak-emak banget ya gue?).

Banyak penerbit yg bagus. Tapi gue masih belum pede buat masukin naskah gue. Apalagi untuk nunggu responnya aja bisa berbulan-bulan, bisa kesemutan gue nungguinnya, hehe. Dan di tengah kegalauan ini naskah mau diapain, gue akhirnya memutuskan buat masukin naskah ke Stiletto Book. Konsepnya yg serba perempuan kayaknya cocok dengan naskah gue. Hey, jodoh itu harus dicari cocoknya, gak bisa dipaksain. Dan Stiletto ini baik hatinya minta ampun, gue gak perlu nunggu lama-lama naskah gue bakal terbit atau gak. Tiga puluh halaman pertama dikirim, satu bulan kemudian dikabari dan itu bikin gue mules berhari-hari. Jawabannya ‘yes’ kalau kata Anang Hermansyah.

Gue dikasih waktu satu bulan buat kirim seluruh naskah. Gue pun ngerjainnya bak orang gila. Walau sebenernya udah kelar, tapi gue gak mau ngecewain dong. Tulisan gue harus oke. Setelah kelar, tugas ngeprint, jilid, dan kirim naskah diserahkan ke suami gue tersayang. Dan gue berdoa seharian supaya naskah gue gak nyasar. Selama nunggu hasilnya gue banyak meriang, mules berhari-hari kayak orang mau lahiran. Tidur gak enak, makan sih enak aja, hahaha. Pokoknya hati kebat-kebit kayak mau Ijab Qabul.

Setelah sebulan belum ada kabar juga. Tiap ngecek email udah panas dingin aja. Migrain gue kambuh, dan muntah-muntah saking nervousnya. Aduuhh, gue lebay banget deh. Ngalah-ngalahin waktu mau sidang akhir aja. You know, tell me ‘lebay’, over reacting, atau too much. Tapi gimana dong? Namanya juga impian, pengen banget kan meraihnya dan bikin jadi kenyataan?

Dan penantian itu berujung indah. Naskah gue bakal terbit! Jantung gue kayaknya mau copot waktu itu. Karya gue bakal terbit! Buku gue bakal ada di seluruh toko buku di Indonesia. Nama gue bakal tercantum dengan manis di sampul buku. Dan gue berharap, novel gue ini bakal disukai, dan orang-orang mau membacanya. Plis, plis…pada beli novel gue ya…

Biar pada semangat beli novel gue ini, gue bakal nulis sedikit bocoran apa isinya. Tapi gak akan bikin spoiler kayak The Walking Dead yg bikin orang jadi bete.

Sedikit bocoran, novel ini tentang tiga sahabat, tiga perempuan, tiga cerita, dan tiga masalah. You must love it! Sedikit kisah nyata, tapi bukan kisah gue, karena gue gak suka berbagi ‘drama’ kehidupan gue, hehe.

Broken Vow terinspirasi dari orang-orang terdekat gue. Yang merasa jangan ngacung, hahaha. Dan inspirasi ini di mulai di Jonas, saat gue lagi bengong ngeliatin foto-foto di sana. Tapi sungguh dehh, novel ini seratus persen fiksi. Terinspirasi bukan berarti harus menceritakan kisah orang kan?

Penasaran kan? Ayo dong penasaran…gue memaksa, pake banget. *winkwink

Xoxo,

Yuris

Maju Mundur Cantik ;p

beauty

Beauty is pain. Kalimat yg udah nggak asing lagi di kuping maupun dibaca, iya nggak? Tapi bener nggak sih ‘beauty is pain?’? Mungkin iya buat sebagian orang yg melakukan oplas, permak bibir, permak hidung, sedot lemak, atau diet ketat. Udah jelas itu menyakitkan, apalagi yg menyangkut pisau bedah. Konon yg melakukan permak bibir biar keliatan kayak anak balita, harus menahan rasa pedih selama dua bulan demi bibir merah merona bak balita menggemaskan. Kadang sariawan aja bikin susah makan, apa kabar bibir yg dikelupas? Banyak yg mengaku, “it’s okay, selama menjadi indah kembali..”. Aduuhh, beauty is pain-nya itu sihh pake banget! Perih jendral!

Gue pribadi bukan tipe yang gila produk kecantikan atau mau coba-coba hal yg ekstrim. Selain duitnya juga super guede, tapi rasa sakitnya bikin ketar-ketir. Cantik sihh, tapi buat gue, hal yg dirubah menurut aslinya alias ciptaan Yang Maha Kuasa, itu udah nggak bener, ujung-ujungnya nggak bersyukur. *benerin krudung ala Mamah Dedeh.

Tapi buat gue cantik itu perlu, jadi cantik itu hal yg natural dan wajar. Cantik kan relatif ya? Tergantung selera juga sih. Itu balik lagi ke masing-masing pribadi, mau cantik kayak gimana. Cantik tapi hati culas, malesin banget kan? Hehe jadi melenceng.

Cantik itu perlu usaha. Yg nggak setuju, ya gpp, namanya juga hidup, nggak rame kalo semuanya pro, kudu ada yg kontra. Yin and yang itu penting. Ngomong opo to nduk? Okeee..back to cantik perlu usaha….

Di dunia ini semua perempuan pasti ingin terlihat cantik. Ada yang udah cantik dari sononya, ada yang harus dipoles-poles dikit biar cling, ada yang udah cantik tapi males merawat diri, ada yg nggak peduli sama sekali yang penting cantik itu terpancar dari hati alias inner beauty. Tapi terkadang ada sebagian perempuan yang nggak percaya diri dengan wajahnya, rela permak wajah demi biar disebut cantik kayak barbie.

Pretty hurts kalo kata lagu Beyonce. Demi dibilang cantik sempurna, punya dagu lancip, hindung mancung, pipi tirus, bibis sexy, mata belo, dll nekat buat oplas. Demi body sexy, kurus, bebas gula, perut rata, paha nggak ada lemak secuil pun…apa aja dilakuin, diet ketat rela dijabanin. Kalo perlu nggak makan carbo seumur hidup. Sampe segitunya usaha biar cantik. Merinding nggak sih? Tapi nggak enak kalo dipuji..”cantik siihh, tapi oplas…”. DEG! Padahal ya itu usaha udah mati-matian. Itu perlu keberanian khusus, gue sih nggak punya mental buat oplas. Liat pisau bedah udah nangis duluan. Cantik siihh, tapi sakiiittt….

Bisa nggak cantik nggak pake usaha? Tanyakan pada rumput yang bergoyang, hehehe. Sekali lagi, cantik itu kan relatif. Kalo mau kayak barbie ya jalan pintasnya oplas. kalo mau cara yang alami dan nggak pake ribet sebenernya banyak banget. Yang penting usaha. Nggak ada yang gratis di dunia ini. Dian Sastro aja perlu usaha buat lebih mempesona kayak sekarang. Dulu ya..waktu dia jadi Cinta masih item, tapi segitu dulu udah paling canteeekkk banget. Sekarang Dian tambah mempesona dan cantiknya dia itu ‘eternal’. Sebel nggak sih? Hihihi sirikkk pake banget.

Kadang maunya nggak pake usaha ya? Apalagi kalo udah merit, mikirnya udah ada yang punya ini. Tapi masa iya sama yang punya nggak mau keliatan okete begete? Mungkin di depan kita nggak protes karena nggak mau nyakitin, tapi dalem hati siapa yang tahu sih? Usaha dong biar yang punya tambah cinta dan bangga punya istri yang bisa merawat diri.

Sebagai Ibu rumah tangga, gue pasti identik dengan daster, rambut digelung asal, muka polos, no makeup, kulit kering gak keurus. Yess, gue pernah mengalami itu semua, sampe sekarang pun kadang kumat dasterannya gue, hehehe. Yeah, naturally neik, namanya juga di rumah doang, masa kudu full makeup?

Dulu, zaman gue belum merit. Yg namanya salon sering banget gue datengin, dari merawat rambut, badan, sampe kuku. Yah, namanya cewek, apalagi waktu mau merit. Luluran manten itu wajib banget, biar ntar suami tambah sayang gitu. Belum lagi puasa senen kemis biar aura kecantikannya keluar bak dewi-dewi khayangan, lebay banget deh, semuanya ditamplokin di badan dan muka. Namanya juga usaha, iya nggak?

Abis merit nih, ritualnya masih sering dilakuin, pas hamil pun selalu disempetin yg namanya luluran, biar selalu kinclong. Mungkin kalo gue bawaan bayi kali ya? Maskeran sama luluran masih dijabanin. Tapi apa kabar setelah melahirkan?

Sebagai Mama baru, pasti shock dengan situasi yg berubah 180 derajat. No ‘me time’, tidur aja kurang neik, mending milih tidur dibanding kudu heboh-heboh mempercantik diri. Muka polos, males dandan, udah jadi kebiasaan. Mandi aja sering mandi bebek. Saking takutnya anak nangis, anak mau mimik, anak ngompol, anak sakit perut. Pokoknya anak nomor satu, diri sendiri dan suami nomor sekian. Malahan gue sering nangis bombay dan nuntut perhatian lebih ke suami. Gue kena sindrom, ‘gue udah hamil, udah ngelahirin, jadi please…hargai gue’, ‘mau gue jelek, gendut, harus ngerti. Gue terlalu capek buat tetek bengek ngurus diri sendiri.’. Sadis ya? Hehehe…gimana dong namanya juga ngurus anak sendiri, masih untung bisa mandi juga..*nangiss kejerrr.

Tapi suatu hari gue ngaca. Ceileehh..gaya kan gue? Yah gimana dong, ngaca lama-lama nggak bisa, soalnya baru pake bedak aja blingsatan denger anak nangis. Duuh, rempong banget deh. Nah, lagi anak tidur, ngaca lah gue. dan gue shock gitu liat penampilan gue yg acak-acakan, belum mata item kayak panda akibat begadang tiap malem, anak gue itu doyan melek dari jam dua pagi sampe subuh. Kalo ditinggalin tidur bisa histeris. Karena gue ibu yg baik hati, penyayang dan cinta anak, jadi gue temenin anak gue melek. Baik banget kan gue?

Gue sadar, diumur yg makin tua, kulit pun gak sekenceng umur dua puluh awal. Kalo gak dirawat ya makin kusam. Tiba-tiba aja gue feeling guilty sama diri gue sendiri, terutama sama suami. Gue ngerasa egois banget, suami berhak dong dapet pemandangan bagus tiap pulang kantor. Gue nggak ada usaha sama sekali buat terlihat cantik lagi di mata suami.

Suami gue itu sebenernya tipe yang bawel bin riwil soal penampilan. Tapi dia mau ngerti kondisi gue yang lagi nggak mood merhatiin diri sendiri. Dia baru buka mulutnya aja muka gue udah nyureng dan mata berkaca-kaca. ‘Dilarang protes..!!’. Duuh, lebay banget sih gue? Jadi malu kadang inget kelakuan gue itu.

Gue jadi mikir, kenapa gue harus stuck dan memaklumi diri gue yg males dandan, males ngurus diri sendiri hanya demi suatu kalimat ‘nggak ada waktunya’. Hahh, dulu aja ngantor dari jam 8 pagi – 6 sore aja gue sempet. Kenapa sekarang malah nggak? Apalagi dulu ngantor, kalo sekarang kan di rumah aja.

Kalo dipikir-pikir ritual merawat diri ala gue kan nggak ribet. Gue bukan pasien dokter kulit, gue ngeri aja ngeliat orang yang rela mukanya ngelupas-lupas demi kulit kinclong, belum lagi harga krimnya yang mahal. Ketergantungan dan efek setelah berhenti karena nggak cocok bikin males jadi pasien dokter kulit. Banyak yg mukanya mulus jadi jerawatan, kulit jadi merah, noda-noda hitam muncul, dan warna kulit jadi nggak rata. Mau cantik tapi repot..Tapi balik lagi ke masing-masing pribadi.  Kalo cocok sama dokter kulit, why not? Kan usaha..hihihi balik lagi :).

Akhirnya gue balik lagi sama rutinitas merawat diri. Ya, nggak perlu nyalon, di rumah juga bisa. Kulit gue kering, jadi gue masih setia sama produk Vit E-nya The Bodyshop. Buat perawatan simplenya, paling pake masker seminggu tiga kali, itu pun pake masker bengkoang mustika ratu, purederm yg grape atau kiwi, lemon, madu, coconut oil, mud maskernya jafra, sama masker sephora. Kadang gue makenya lagi masak, lagi kasih makan anak, lagi nyapu, atau siram tanaman. Gimana waktunya aja…dan kalo sempet gue luluran sendiri, atau kalo mepet cuma pake garam mandi.

Kadang suami kasih waktu gue buat ‘me time’. Untungnya dia bisa diandalkan dalam jagain anak. Dia itu super daddy, jadi gue tenang ninggalin anak sama dia. Nyebelinnya, kalo nyampe rumah, gue selalu disambut dengan rumah yg berantakan kayak kapal pecah. Tapi itu resiko, mau ngomel juga percuma. Segitu aja dia mau dan ngijinin gue bersantai. Jadi buat gue, kapal pecah it’s okay.

Gue juga sering dinasehatin nyokap. Istri itu perlu banget dandan cantik di rumah, mau secapek apa pun badan, letih. Penampilan harus dijaga. Kebetulan nyokap kerja, jadi buat beliau tampil cantik ya perlu. Cuma kalo weekend nyokap pasti tetep dandan, namanya juga sayang suami. Kadang kesentil ya? Kita yg di rumah masih ngeluh-ngeluh nggak punya waktu, padahal kalo dipikir-pikir waktunya ada, kitanya aja yang minta dimaklumi, namanya juga IRT kerjaannya nggak kelar-kelar. Tsaahh.

Pada akhirnya gue selalu berusaha untuk tampil cantik. Bikin suami seneng itu kan pahala, apalagi pulang kantor, udah capek-capek seharian di kantor, disambut istri yg kumel kan kasian juga. kalo disambut sama yg rapi dan cantik kan dia pasti seneng dan merasa dihargai. Dia udah kasih tempat tinggal dan kenyamanan, masa gue bales dengan tampil ala kadarnya?

Banyak yg sering nanya, ‘kok sempet dandan?’, ‘kok sempet luluran, maskeran?’. Sempet kok, apa aja bisa disempetin. Ya ‘manage’ waktu aja. Namanya juga usaha, hahaha.

Sejak melahirkan bentuk badan pasti berubah, melar, dan lemak di paha nambah. Sedih udah pasti, mau menjerit rasanya. Tapi gue bukan penganut ‘beauty is pain’, dengan rela sedot lemak, akupuntur pake jarum-jarum atau diet ketat. Is a big no no…

Buat gue hidup sehat itu penting. Gue pilih olah raga ringan. Kalo sempet ya ngegym, yoga, atau lari. Kalo ga sempet, situp atau lari di tmpt udah cukup. Yg penting badan gerak, dibantu suami juga boleh..*winkwink.

Cantik di luar, tapi harus didukung dengan asupan makanan juga, biar gak cepet capek atau sakit. Bangun tidur, biasakan minum segelas atau dua gelas air putih, disambung minum infused water atau air lemon. Buat sarapan, segelas smoothies sayur n buah, dicampur chia seeds atau flax seeds oke juga. kalo biar agak kenyang, bisa juga sarapan roti bakar.

Gue juga minum green tea, buat anti oksidan. Mengurangi makan gorengan itu penting banget buat tubuh. Gula yang dicampur minuman pun lebih baik yang equal, gak terlalu manis soalnya.

Gue selalu menekankan, diet itu nggak perlu tiap hari. Apalagi buat perempuan, masa PMS adalah masa banyak makan, mau yg pedes2 lah, yg manis2, coklat, bakso, rujak, dll. Jadi buat gue, makan ya makan aja, tapi jangan kebanyakan juga. Selalu inget ‘listen your body, love your body…’.

Nggak ribet kan mau keliatan cantik? Nggak perlu oplas demi kayak Victoria’s angels, look like a doll (jng inget Anabelle) dan kayak barbie. Yang alami dan natural itu lebih keliatan ‘real’ dan yang terpenting suami nggak punya tuntutan tinggi kita kudu tampil perfect. Syukuri dan cintai apa yang kita miliki. *Kemudian nyanyi..”syukuri apa yang ada…” :D.

Sehat, singset, cantik, kulit bersih bukan cuma buat sendiri, tapi buat suami juga dong. Bikin suami seneng kan pahala..yuk cintai diri sendiri, biar tambah dicinta :).

Yuris

Unspoken – Chapter 2 ; We Were Nothing

images9NI7LNPN

2  WE WERE NOTHING

Aku menamatkan film Friends with Benefit. Hubunganku dengan Rav tidak separah itu sih, apalagi sampai rela tidur dengan Rav. No way dehh, hubunganku dengan Rav sangat normal, tidak mungkin kami berdua seperti itu. Kami hanya saling berbagi cerita, pekerjaan dan hobby. Seperti sahabat normal lainnya, hanya saja yang tidak normal itu adalah perasaanku. Sulit sekali aku mengenyahkan Rav dari hatiku, aku sudah melemparkan jangkarku padanya, tapi Rav tidak menyadarinya, mungkin lama-lama jangkar itu akan karatan dan akhirnya rusak sendiri. Aku hanya berharap aku bisa bersahabat dengan Rav tanpa beban di hatiku.

Rav, kenapa sih kamu terobsesi sama perempuan Jawa? Apa karena Mama kamu yang asli Jawa dan memiliki darah ningrat? Aku bertanya-tanya dalam hati.

Aku belum pernah bertemu Mamanya Rav, Mamanya sudah meninggal saat Rav berusia sepuluh tahun, beliau meninggal karena sakit kanker payudara. Rav sangat mencintai Mamanya, buat dia Mamanya adalah segalanya, wajar kalau dia begitu kehilangan Mamanya dan selalu mencari sosok seperti Mamanya. Perempuan Jawa ningrat yang memiliki tutur kata halus, lemah lembut dan keibuan.

Rav mengejar bayang Mamanya di setiap perempuan yang dia temui. Sudah banyak perempuan yang patah hati oleh Rav, sejak kuliah Rav mencari dan terus mencari sosok perempuan Jawa. Awalnya aku tidak mengerti apa maunya Rav, apa yang dicarinya. Aku tidak memahaminya, sampai akhirnya Rav mengakui tentang keinginannya. Aku sering bilang itu obsesi, tapi Rav selalu menampiknya. Kadang aku berpikir otaknya mungkin cuma setengah, dia tidak bisa membedakan antara keinginan dan obsesi.

Aku mendesah panjang, layar tv masih menyala biru. Angin sepoi-sepoi masuk ke kamar kostku melalui jendela-jendela panjang yang bisa dibuka seperti pintu. Aku mulai mengantuk. Weekend ini aku menghabiskan waktuku di kamar kost. Sejak Rav punya Vira, jarang banget aku bersamanya lagi, ketemu hanya sesekali untuk membicarakan proyek rumahnya Pak Sasmito. Aku mengerjakan proyek itu di kost sendirian, males kalau bareng Rav. Ada manusia bertoket besar yang selalu ngintil. Kami hanya saling mengirim gambar lewat email. Komunikasi hanya lewat ponsel.

Rav sering protes kalau aku nggak datang ke workshop kami. Kerjaan lagi banyak, proyek interior cafe di Kemang belum rampung. Semua contoh bahan interior ada di workshop, karena aku malas ketemu Vira sebagian aku bawa ke kost. Itu bikin Rav ngambek, karena pada saat klien lain datang untuk melihat sample, dia jadi kelabakan sendiri. Rav melayangkan protes. Duuhh, dia ngerti nggak sih sama perasaanku? Gimana aku mau kerja fokus bareng dia kalau Vira selalu ada. Mana manja banget lagi, badannya nemplok mulu ke Rav. Aku kan jadi gerah sendiri. Bilang aja jealous, Del! Yeah, aku cemburu. Sampai ubun-ubun. Puas?

Aku berdiri dari sofa. Waktunya kerja. Aku merenggangkan tubuhku. Angin yang bertiup sepoi-sepoi dari jendela sedikit menyegarkanku. Aku mengedarkan pandanganku ke seluruh penjuru kamar kost. Syukurlah aku menemukan tempat kost ini. Kost-an ini bukan seperti kost-an standar yang ada di Jakarta. Kost-an ini mirip bentuk apartemen studio, dengan satu kamar mandi dan pantry di dalam. Luasnya lima belas meter persegi, cukup luas untuk aku isi dengan kasur ukuran queen, satu sofa, meja kopi, rak tv, dan rak buku.

Rav yang mencarikan tempat ini untukku. Kebetulan ini milik temannya. Rav bilang aku pasti suka dan betah. Walau agak mahal sewanya, tapi dijamin aku pasti menyukainya. Rav cocok juga jadi orang marketing, pintar merayu. Tapi memang sih pada saat pertama kali aku melihat tempat ini aku langsung klop. Apalagi kamarnya dilengkapi teras kecil di belakang kamar, dilengkapi dek kayu pendek yang langsung berhadapan dengan kolam ikan. Cocok untuk mencari inspirasi gambar sambil melihat langit biru atau pada saat langit berbintang. Seminggu kemudian aku langsung pindah. Sudah hampir setahun aku di sini.

Ponselku bergetar. Nama Rav terpampang di layar. Aku menarik nafas.

“Yepp…”

“Ke sini nggak?” Rav langsung to the point.

“Nggg, nggak kayaknya…”

“Del, gue susah kalau kita cuma tukar-tukaran gambar di email. Susah bahasnya. Ini Pak Sasmito minta desain plafond kamarnya diubah sedikit, elo bisa kan ke sini? Kita bahas bareng. Sekalian nentuin wallpaper buat kamar anak-anaknya…”

“Gimana ya Rav..”

“Del, elo kenapa sih?”

“Oke, oke gue ke sana…” aku menjawab dengan cepat. Aku nggak mau Rav curiga soal ketidaksukaanku akan Vira. Duuh, tapi faktanya emang begitu. Aku benci setengah mati sama Vira.

“Vira dateng?” arrgggg nyeplos juga.

“Iya. Kenapa?”

Dalam hati ingin menjawab, datang mulu. Tapi aku hanya menjawab, “oke. See you…” dan aku mematikan ponselku.

********

Lima belas menit kemudian aku sudah berada di dalam jazz putihku, meluncur pelan ke daerah Rempoa. Hanya butuh waktu paling lama empat puluh lima menit menuju rumah Rav. Lebih cepat lebih baik. Dan aku berharap Vira belum datang. Ini baru jam sebelas, palingan dia lagi nyalon dulu, seperti biasa kalau mau ketemu Rav. Ribet banget deh pokoknya. Tiap ketemu Rav harus dandan cantik, rambutnya yang panjang dibikin ikal-ikal mirip iklan shampo. Emang cantik sih, harus aku akui. Diih, jadi bahas si Vira.

Aku memarkir mobilku di garasi rumah Rav. Langsung menuju paviliun rumahnya. Papanya Rav kalau sabtu siang pasti lagi golf, dan adiknya Athar pergi futsal. Di rumahnya cuma ada si Mbok Minah, yang asli Jawa itu. Kalau dipikir-pikir, cari cewek Jawa kan gampang ya? Minta cariin aja sama Mbok Minah di kampungnya. Tulen semua tuh.

Aku melihat pintu paviliun tertutup. Tumben, biasanya terbuka lebar. Suara lagu John Legend terdengar pelan dari dalam. Dengan sekali sentak aku membuka pintu.

“Ra…v..” suaraku terputus. Pemandangan yang aku lihat sangat, sangat menyakitkan mataku. Aku melihat Rav sedang berciuman dengan Vira.

Berciuman! Berciuman! Seumur-umur Rav berpacaran dengan segala macam jenis perempuan, belum pernah aku memergoki Rav dan pacarnya saling, saling..ohh my God. Tembak saja kepalaku sekarang. Tubuhku bergetar hebat melihat mereka berdua saling…

Rav sepertinya menyadari kehadiranku. Dia langsung melepaskan ciumannya. Agak kaget saat melihatku, tapi kemudian langsung nyengir cuek. Vira hanya mendesah pelan. Dasar perempuan…God, aku nggak bisa bilang dia jalang kan? Dia pacarnya Rav, demi Tuhan.

Wajahku memanas.

“Sorry, ganggu..” aku membalikkan tubuhku.

“Eh Del, Adel!” Rav langsung berdiri dan meraih tanganku.

“Rav, gue balik ya? Ntar gambarnya gue kirim lewat email…” aku menggigit bibirku, berusaha menahan tangis.

“Sorry, Del. Gue minta maaf..”

“Rav, elo nggak perlu minta maaf. Gue, cabut ya? Nggak enak ganggu orang pacaran…”

“Aduuh, Del. Jangan ngambek dong…” tiba-tiba si toket besar muncul di belakang Rav. Mengikat rambutnya ke atas, memperlihatkan lehernya yang jenjang. Dan harus ya dia pake kaus setipis itu? bra hitamnya terlihat jelas di balik kausnya itu. Dasar pasangan mesum.

Aku memaksakan senyumku, “santai. gue lagi buru-buru juga. Cuma si Rav nyuruh ke sini, gue cuma mampir. Tahunya ada orang lagi pacaran..”

Vira ketawa kenes sambil menggelendot manja di bahu Rav. Aku menahan nafasku agar nggak mendengus. Aku masih memasang senyum terpaksaku. Aku melirik pada Rav yang wajahnya terlihat kurang nyaman. Si Vira ini ampun dije deh.

“Gue balik…”

“Tapi proyek Pak Sasmito…”

“Rav, pacaran aja dulu. sorry motong acara hot kalian berdua…” kata-kata pedas keluar dari mulutku. Aku melepaskan genggaman tangan Rav, dan berlalu dengan perasaan yang luar biasa kacau balau.

“Del, please..”

Aku terus berjalan menuju mobil, tidak mempedulikan teriakannya Rav. Hatiku hancur dan sakit sekali. Tega sekali kamu Rav. Tega.

*******

Aku duduk bersila di sofa Starbucks PIM. Meminum Frappucinnoku tanpa merasakan apa-apa. Ruang hampa menggayut di hatiku. Aku nggak pernah menyangka Rav seperti itu. Aku tahu mereka pacaran. Tapi haruskah Rav bertingkah seperti itu dengan pacarnya? Apalagi baju si Vira yang ketat dan transparan, sekalian aja nggak usah pake baju.

Aku sulit sekali mengenyahkan adegan ciuman meraka yang…super hot. Seharusnya aku yang dicium Rav, bukan Vira. Aku membenamkan kepala di kedua tanganku. jangan sampai aku mengkhayal yang nggak-nggak. Aku bukan pacarnya Rav, aku cuma sahabatnya. God, kenapa ini semakin sulit?

Ponselku bergetar terus-terusan. Aku mendiamkannya. Sudah ada belasan misscalled dari Rav di sana, tapi aku nggak mau mengangkatnya. Aku terlalu sedih buat ngomong sama Rav.

Satu SMS muncul, aku membacanya sekilas.

Otw kost-an lo.

Aku tidak membalasnya. Entahlah. Aku malas ketemu Rav, lebih baik aku tidak pulang sekarang. Aku tidak mau lihat kemesraan Rav dan Vira lagi. Cukup, semuanya udah cukup bagiku. Aku membulatkan tekadku. Aku akan berhenti jadi partnernya Rav. Aku dan dia harus berpisah. Aneh kan kalau kerja ada makhluk bertoket besar seliweran di depan mataku? Kerja ya kerja, pacaran ya pacaran. Rav mulai oon, nggak bisa bedain keduanya.

*********

Aku tersentak kaget. Mobil Civic hitam Rav terparkir manis di parkiran kostku. Duh, kalau kabur, mau kabur kemana? Ini udah jam sembilan malam. Masa ke club? Dugem? Bukan aku banget, tapi aku nggak bisa ketemu Rav sekarang.

“Nggak turun?” tiba-tiba ada yang mengetuk jendela mobilku. Rav.

Aku gelagapan, refleks membuka kaca jendelaku.

“Ngapain? Udah malem. Gue nggak enak sama temen kost gue…”

“Kayak gue nggak pernah balik subuh aja dari sini…” mata Rav menyorot aneh.

Aku menutup kaca jendelaku, membuka pintu.

Rav mundur, dia masih menatapku.

“Nggak pake jaket? Ntar masuk angin lagi..”

Biasanya aku akan geer setengah mati dan mengatakan sesuatu untuk menggodanya. Tapi aku hanya menatap tubuhku yang berbalut tshirt Myloxyloto dengan santai.

No problemo. Bukan masalah lo juga kalo gue masuk angin…” aku berkata dingin. Rav tersentak.

“Gue mau ngomong..”

“Ngomong aja..” aku bersidekap. Sial emang lumayan dingin.

“Gue minta maaf soal Vira…”

You should…” aku tersenyum sinis.

“Del, gue udah keterlaluan banget ya?”

“Rav, gue tahu Vira itu pacar lo, cinta mati lo, cewek Jawa Manado yang paling elo impi-impikan sepanjang masa. Tapi please, gue nggak bisa kerja kalo elo berdua pacaran di depan gue. Kayak nggak punya waktu aja siihhh?”

Wajah Rav mengerut.

“Elo mau ciuman kek, jumpalitan kek, having sex kek sama dia. Gue nggak peduli Rav, gue nggak peduli. tapi tolong hargai gue sebagai partner kerja lo…” aku mendengus keras. rasa sakit menghujam jantungku lagi.

“Siapa yang having sex?” Rav nggak terima.

“Ya elo lah sama pacar mesum lo yang kalo pake baju minta ditidurin!”

“Del, jaga omongan lo. Vira sama gue nggak kayak gitu! It’s just a kiss. Elo kenapa? Cemburu sama Vira?”

Kalimat terakhir membuat wajahku merah padam.

Iya, gue cemburu Rav. Gue benci setengah mati sama Vira. Puas lo? Puas?

Aku terdiam lama. Rav menggelengkan kepalanya, “elo sobat gue Del, seharusnya kita nggak perlu berantem kayak gini. Gue minta maaf…”

Ya karena kita sahabat Rav, itu bikin hatiku hancur.

I quit..”

Rav tersentak, “quit? Dari?”

“Semua proyek kita…”

“Elo partner gue Del. Nggak bisa.” Wajah Rav menegang.

“Gue lagi banyak kerjaan di kantor dan gue perlu pacaran juga…”

Rav melongo.

“Elo punya pacar Del?”

Aku menggeleng lemah, “gebetan. Gue butuh punya pacar…”

Aku menekankan kata pacar.

“Elo ngomong kayak gini buat nyakitin gue kan?”

Nyakitin? Elo yang nyakitin gue berkali-kali Rav. Kedudukan gue nggak akan pernah berubah kan Rav? Dari sahabat jadi pacar lo?

Aku ingin menjawab seperti itu, tapi nggak mungkin kan?

“Rav, kita masing-masing dulu…”

“Del, nggak bisa gitu…” wajah Rav kini mengeras.

“Rav, gue nggak mau ya mergokin elo sama Vira lagi saling membuka baju. Oke?”

“Jadi masalah lo cuma di Vira kan? Oke, fine. Gue ketemu Vira lain waktu, lain hari…”

“Bukan soal Vira, tapi gue butuh space Rav. Gue butuh punya pacar. Gue nggak mau weekend diisi kerja juga. Gue butuh pacaran kayak elo…” suaraku masih dingin.

Rav memegang kepalanya, menghembuskan nafas keras-keras. Dia menyulut rokoknya, menghisapnya keras-keras. Belum pernh dia merokok di depanku lagi sejak terakhir aku memarahinya soal rokok dua tahun yang lalu. Tapi kini dia dengan cuek menghisap alat kematian itu di depanku.

Aku pun tidak melarangnya. Aku berusaha tidak peduli lagi soal Rav. Aku mulai muak dengan perasaan cintaku pada Rav.

“Elo kekanakan Del..”

Aku diam saja.

“Gue balik. Terserah elo mau gimana, tapi kita tetep partner. Soal kerjaan, lewat email aja..” Rav menjatuhkan puntung rokoknya dan menginjaknya.

“Masuk gih, ntar masuk angin. Gue nggak mau pas ketemu ada keluhan sakit lagi…” Rav tersenyum.

Aku menggeleng lemah, “kasih gue waktu buat mikir..”

Rav tercenung, kemudian mengacak rambutku. Seakan-akan dia ingin mengatakan sesuatu padaku, tapi dia malah mengangguk.

“Elo kalo cari cowok yang bener ya?”

“Kayak elo cari cewek bener aja Rav..” aku berkata sinis.

Dia malah nyengir lebar, “gue sih bisa santai, ceweknya yang kebakaran..” dia terkekeh.

“Gue bisa jaga diri..”

Aku mendengus sebal.

“Judes amat neng. Baekan yuk?” Rav mengulurkan kelingkingnya. Aku memutar mataku.

“Oh, common Del..” dia menarik tanganku dan meraih kelingkingku.

“Baikaaaann. Yess!”

Mau nggak mau aku tertawa.

Rav merangkul tubuhku. “Elo sahabat gue Del. You are the best…”

Mataku kembali memanas, dan satu airmata pengkhianat bergulir di pipiku.

*********

Unspoken – chapter 1 Best Friend Forever

best-friends-forever-quotes-sayings537885
1 Best Friend Forever

“Gue buatin teh ya? Kebiasaan sih, punya maag tapi disayang-sayang…”
“Ngomel dehhh…”
“Gimana nggak ngomel Del..”
Aku menatap Rav dengan wajah ditekuk. Melihatnya mengambil mug besar, satu kantong teh, dan dua sendok gula. Wajahku boleh diset cemberut, tapi dalam hati aku tersenyum melihat cara Rav memperhatikanku. Aku menikmati setiap perhatian yang Rav berikan.
Rav memberikan mug berisi teh panas itu. Aku meminumnya perlahan, mengintip wajahnya dari sela-sela mug. Rasa hangat mengalir ke perutku, ke hatiku, dan tubuhku.
“Apa lihat-lihat?” Rav mengerutkan keningnya.
Aku tersenyum, kemudian bergelung manja di bahunya, dia merangkulku. Menatap langit sore di tempat workshop gambar kami. Duduk berdempetan seperti sepasang kekasih. Jangan bayangkan kami berpacaran, tidak sama sekali. Kami bersahabat. Dan telah berikrar “Best Friend Forever”.
Senang? Tentu saja tidak. Mungkin hanya aku yang merasa status bff itu sangat mengganggu. Diam-diam aku mencintai Rav. Entah sejak kapan perasaan itu muncul, yang aku tahu dan aku rasakan, aku tidak bisa menatap lelaki lain selain Rav. Hatiku hanya dipenuhi Rav, tapi sepertinya Rav tidak menyadari perasaanku padanya. Padahal kadang-kadang aku menunjukkannya secara gamblang, hanya saja Rav seakan-akan tidak peduli, dia berpura-pura tidak mengetahuinya.
Apa yang lebih buruk dari mencintai sahabat sendiri?
“Elo kalo lagi sakit gini jadi manja….”
“Biarin kan ada yang manjain…”
“Seenaknya aja. Gue bukan suster tau…”
Lihat kan? Rav akan menjawab cuek. Seharusnya kalau di film-film romance, dialognya akan begini.
“Elo kalo lagi sakit gini jadi manja…”
“Biarin, kan ada yang manjain…”
Rav tidak akan menjawab apa-apa hanya tersenyum simpul. Adegan selanjutnya, dia akan mengelus rambutku dengan sayang, mengecup keningku dan berkata, “iya kalau kamu sakit aku jadi pengen peluk-peluk kamu terus…” dan kami akan bertatapan penuh cinta. Happy ending.
“Eh, malah bengong…” Rav menyentakkan bahuku.
Lamunanku buyar. Rav beranjak dari sofa menuju meja gambarnya, duduk memunggungiku. Dia akan selalu bersikap seperti itu setiap aku memancing sesuatu dalam hubungan kami. Dia akan pergi, bersikap masa bodoh.
Aku mendesah di sofa, memiringkan tubuhku. Menyalakan CD. Suara Danny O’Donoghue mulai terdengar melantunkan bait pertama lagu Science and Faith. Aku dan Rav penggemar kelas berat The Script, itu persamaan kami yang kedua setelah kami sama-sama cinta mati dengan Arsitektur kolonial. Too similar kami berdua itu, itu mungkin yang membuat kami bertahan dengan status bff. Menyenangkan buat Rav, menyebalkan buatku.
Dari Sabtu pagi kami berdua menghabiskan waktu di workshop gambar milik kami, lebih tepatnya sih paviliun rumahnya Rav yang kami sulap jadi tempat workshop buat gambar. Kami berdua sehari-hari bekerja di Konsultan Arsitektur, hanya beda kantor. Punya workshop hanya untuk mencari tambahan dengan mengerjakan proyek di luar kerjaan kantor. Kalau cuma mengandalkan gaji kantor, bisa semaput kami berdua.
Kami tidak naif. Arsitek sama saja dengan buruh lainnya. Bekerja melampaui batas waktu, kadang tidak tidur hanya untuk menyelesaikan sebuah desain. Untuk satu desain gedung saja, perlu ratusan gambar untuk digambar dan dicetak. Sebelum dicetak kami harus bekerja rodi, bekerja sama dengan para drafter yang kadang butuh penjelasan mendetail menyelesaikan gambar.
Gaji? Aku kasih tahu sedikit rahasia ya. Gaji Arsitek di Indonesia beragam. Dari ratusan ribu hingga jutaan rupiah. Yang kaya hanya owner dan Direktur. Arsitek itu hanya kacung gambar berpenampilan necis. Pekerja profesional tapi bergaji rendah. Kalau mau menambah uang tabungan harus membanting tulang mencari proyek-proyek tambahan. Pantas saja kami bermasalah dengan penyakit maag, lambung dan gangguan pencernaan.
Kalau mau jadi Arsitek berpenghasilan puluhan juta. Harus menjadi Arsitek fenomenal. Punya konsultan sendiri dan uang yang banyak. Ujung-ujungnya akan membuka kantor kontruksi atau Developer perumahan juga. Kontraktor lebih menjanjikan dibanding Arsitek. Tragis? Memang itu kenyataannya. Kreatifitas yang tidak dihargai, aku menamainya.
Aku pernah diminta untuk mendesain sebuah rumah. Untuk orang yang awam dan jauh dari kata profesionalisme, mereka akan berkata, “gue bayar sejuta deh buat gambar lo…”. Sejuta? Dikira bikin bangunan dari lego dibayar sejuta. Aku akan menolaknya dengan senang hati. Aturannya, desain itu dihargai permeter. Tapi mereka-mereka mana mau mengerti, buat mereka kalau bisa bayar semurah-murahnya itu baru oke. Miris ya? Dikira ide gambar itu muncul begitu saja ke permukaan. Sebuah ide yang dihargai murah. Biasanya setelah dipaksa untuk membuat sketsa, mereka akan kabur dan berkata, “proyeknya nggak jadi…”, dan mereka mendapat inspirasi dari coretan sketsa itu, membuatnya sendiri, atau menyuruh drafter lulusan SMK untuk mewujudkannya.
Aku dan Rav membenci semua itu. Kami terpaksa menjadi kacung gambar demi sesuap nasi dan baju-baju keren. Aku hiperbolis? Terjun saja sendiri ke dunia Arsitek. Percaya atau tidak itu urusan masing-masing. Gaji pertamaku di kantor Konsultan hanya satu setengah juta, plus uang lembur, paling sebulan dapat tiga juta. Setelah jadi Arsitek Senior saja gajiku naik jadi tujuh juta. Disebut Arsitek Senior, minimal kerja lima tahun. Bayangkan penderitaan kami?
Aku mengeluh ya? Sayangnya aku sudah terlanjur mencintai profesi ini. Aku dan Rav rajin mengikuti sayembara-sayembara arsitektur. Dari lima sayembara, kami setidaknya pernah menang dua kali. Satu desain untuk sekolah berasrama di kota mandiri dan satu desain lainnya sebuah Hotel di Yogyakarta. Itu semua cukup untuk kami masing-masing membeli satu unit mobil. Setelah itu kami akan pontang panting mencari proyek kacung dan tunduk pada klien demi uang.
Hanya masalah waktu profesi Arsitek lebih dihargai di bumi Indonesia ini. Semoga undang-undang profesi Arsitek segera menjadi nyata, setidaknya aku dan Rav nggak ngoyo banget cari proyek tambahan. Tapi ada baiknya juga sih, aku bisa begadang-begadang berdua Rav. Ada alasan buat dekat-dekat dia. Ampun, aku ini berharap banget ya?
Aku dan Rav itu partner. Dan aku berharap bisa menjadi partnernya seumur hidup. Jadi istrinya dong? Duuh, kepalaku harus digetok nih, mimpi ketinggian.
”Del, elo kalau kebanyakan bengong mending balik deh. Tidur..” Rav menatapku dibalik kacamata minusnya yang dia pakai kalau sedang menggambar.
Sebenarnya dia lebih ganteng dengan kacamatanya itu, terlihat jenius. Cuma Rav nggak suka, katanya mengurangi kegantengannya. Ciihh, dasar. Sehari-hari Rav lebih suka tidak memakai kacamatanya.
“Rav, gue bengong dikit elo ngomel, mirip emak gue aja..” aku memonyongkan bibirku.
“Del, elo butuh tidur. Berapa hari elo begadang di kantor?”
“Tiga hari. Proyek Bizz TV bikin gue ancur-ancuran…” aku menguap.
“Gue tidur bentar ya..” dan aku membenamkan kepalaku di sofa coklat hasil desainku sendiri.
Rav hanya menjawab dengan gumaman tidak jelas.

********

Mencintai seorang Rav itu sangat mudah. Satu, dia humoris, dua, dia pintar, tiga, dia perhatian, empat, dia ganteng, lima, dia segalanya buat aku. Standar ya? Nggak, Rav di atas rata-rata, dia bukan lelaki standar yang banyak ditemui. Punya wajah ganteng tapi nggak punya pacar, itu keanehan dari Rav. Nggak , dia buka gay, dia seratus persen straight. Aku bisa menjaminnya. Hanya saja Rav punya kriteria pacar yang luar biasa susah, kata aku sih. Gimana nggak susah, Rav pengen punya pacar orang Jawa tulen, nggak mau ada darah campuran apa pun. Jawa tok.
Aku bukan orang Jawa. Itu yang menyedihkan, aku asli Sunda dan Minang, perpaduan yang jauh dari Jawa. Jelas aku sudah dicoret dari daftar kriteria pacar Rav, aku tidak mungkin jadi pacarnya. Sampai aku berdandan ala Miss Universe pun, Rav tidak akan mungkin memilihku, melirikku pun dia sudah pasti tidak mau. Jadi aku hanya bisa mencintainya sendiri, tanpa pernah ada sambutan dari Rav.
Kadang kalau ada perempuan cantik dengan warna kulit kuning langsat, dia akan menyuruhku bertanya, “orang mana?”, bikin males nggak sih? Kayak kurang kerjaan aja aku nanya-nanya itu perempuan asli orang mana. Satu hal yang aku benci dari seorang Rav, sukuismenya sangat tinggi. Menyebalkan.
Seperti hari ini, aku dan Rav makan siang bareng. Kantor kami hanya beda gedung, aku di BNI 46, Rav di MidPlaza. Kami makan siang di Plaza Semanggi. Rav lebih suka makan di Mall, katanya biar banyak ikan di laut. Mau mancing kali? Aku sih ngangguk-ngangguk saja selama dia mentraktirku.
Rav ribut terus menyuruhku mendekati seorang perempuan. Cantik sih, ayu gitu, tapi belahan dadanya bikin aku ngelus dada sendiri. Aku tidak bergeming.
“Oh, come on, Del. Cuma nanya namanya aja sama orang mana kok..”
“Ogah..” aku melirik malas.
“Payah lo…” Rav menyuapkan udang goreng ke mulutnya.
“Rav, elo yang payah. Tanya sendiri gih..”
“Ogah. Elo tahu sendiri kan tiap gue nanya satu cewek, besoknya udah bertingkah kayak pacar gue. Rav, dimana? Udah makan blom? Tidurnya nyenyak nggak? Please…” Rav mengerutkan keningnya tidak suka.
Aku hanya bisa tertawa. Kasihan sih kalau lihat keadaan dia yang digempur perempuan-perempuan itu, mereka selalu bersikap Rav itu sudah jadi milik mereka. Rav sering tidak tahan, gimana nggak pusing, tiap menit ponselnya akan berbunyi, puluhan SMS dan misscalled akan mampir ke ponselnya. Dan aku harus menyortirnya, seakan-akan aku sekretaris pribadinya. Tapi dengan hanya menjadi sahabat sekaligus sekretarisnya itu, Rav bisa menjadi milikku. Walau tidak menjadi pacarnya, aku sudah puas dengan keadaanku. Setidaknya Rav percaya padaku.
“Heh, malah bengong. Ayoooo…” Rav semakin memaksa. Aku menghela nafas panjang, dan melirik perempuan yang dadanya kemana-mana itu. Perempuan itu melihatku dan Rav, senyumnya dikulum. Sueerr deh, kalau nggak ada Rav sudah aku tendang-tendang itu perempuan.
“Are you sure?” aku memberi kode tangan di dadaku. Rav malah tertawa keras.
“Hey, laki-laki normal pasti suka…” Rav tersengal, aku menginjak kakinya dengan gemas.
“Rav..”
“Asal dia Jawa, gue pacarin…” Rav menatapku dengan serius. See? Apa pun, siapa pun, asal Jawa.
“Rav, pacarin aja si mbok yang kerja di rumah. Jawa kan?” aku berkata asal.
Rav langsung cemberut, tangannya langsung menarik tubuhku.
“Cepet, ntar itu cewek keburu pergi…”
Aku menyerah kalah, dengan setengah terpaksa aku berdiri dari dudukku, menghampiri perempuan berdada besar itu. Ohh, God! Rav harus mentraktirku makan malam nanti.
“Hai, nama? Asli mana?” aku bertanya dengan cepat. Perempuan itu bengong menatapku, kemudian matanya lari melihat Rav yang sedang pura-pura sibuk dengan gadgetnya. Sial.
“Vira. Asli apaan?”
Duuh, toket aja besar, otaknya seupil.
“Orang mana maksudnya..”
“Ohhh…” Vira tertawa sok imut, aku ingin menerkamnya.
“Jakarta..”
“Betawi gitu?”
“Hah?” dia menatapku dengan bego.
“Suku, kebangsaan, warga negara..”
Tawa Vira pecah berderai.
“Temen lo itu lucu ya? Nanyanya sampe detail banget..”
Aku memutar mataku, memaksakan senyum dibibirku.
“Gue Jawa…”
Hatiku mencelos.
“Jawa Manado…” senyumnya mengembang, rambutnya dikibaskan bagai iklan shampo, dadanya makin kelihatan kemana-mana, matanya menatap genit pada Rav. Aku langsung pergi.
Rav menatapku penuh harapan.
“Jawa Manado..”
Rav langsung manyun.
“Rav, kalau pun dia Jawa, gue rasa dia bukan perempuan baik-baik..”
“Jangan sok tahu.”
“Dadanya kemana-mana gitu…”
“Jangan sok tahu..” Rav berdiri, aku bingung melihat sikapnya.
“Hey, belom bayar..” aku sedikit berteriak, Rav mengabaikanku. Dia mendekati Vira. Itu seperti nonton film horror. Belum pernah Rav mendekati perempuan lain sejak kejadian Sasha enam bulan yang lalu. Jangan lagi.
Rav mengulurkan tangannya pada Vira, mereka bercakap-cakap sebentar, saling mencatat nomor ponsel masing-masing. Vira berdiri bersama temannya, mengambil tas di kursi. Senyumnya mengembang, entah apa yang diucapkan Rav. Vira berlalu sambil tangannya memberi tanda “call me” pada Rav. Rese.
Aku diam saat Rav kembali ke meja kami. Senyum-senyum nggak jelas.
“She’s hot. Right?” Rav nyengir lebar.
“Vulgar..” aku berkata dengan sarkas.
“Hot nggak vulgar..” Rav tertawa kesenangan, aku menimpuknya dengan bantal sofa.
“Jangan bikin gue memuntahkan makan siang gue di sini ya Rav..”
“Kenapa sih? Dia oke banget..” Rav menggambarkan bentuk tubuh perempuan dengan tangannya. Aku memandangnya dengan jijik.
“Terserah lo deh, tapi inget ya gue nggak mau menyelamatkan lo dari si toket ini kalau sampe ganggu tidur lo, kerja lo, makan lo, hobby lo, dan hidup lo…” aku memberi tekanan pada setiap kata yang aku ucapkan pada Rav.
“Oke. Yang penting, she’s mine..”
Hampir saja aku menjatuhkan gelasku.
“Selera lo ya…” aku mendengus, pura-pura melengos. Padahal hatiku sakit bukan kepalang saat mendengar kata-kata “She’s mine”. Bisa-bisanya Rav mengatakan semua itu dengan gamblang? Oh, iya aku lupa, aku kan cuma sahabatnya, tidak lebih.

**********

Love What You Have Before Life Teaches You To Love What You Lost

“Love what you have, before life teaches you to love what you lost…”
Kalimat yang cukup memukul ya? Sarat akan makna. Kalimat ini gue baca di timeline twitternya Ika Natassa. Iyess, penulis kece Indonesia favorite gue. Di atas kalimat ini ada ceritanya lho, gue ceritain ya..tapi siapin tissue sekotak, kali aja jadi nangis bombay pas baca. Karena berhubung ceritanya dalam english version, gue terjemahin sebisa gue aja ya….dan sedikit karangan indah.
Jadi gini ceritanya, ada pasangan muda mudi, bayangin yang cakep-cakep oke? Yang cowok kembarannya Keenan Pearce, yang cewek titisannya Raisa Adrianna. Lho bukannya itu pasangan paling okenya seleb indo ya? Ya udah pokoknya dua orang itu kece badai, wajah bayangkan masing-masing.
This is the story…
Sebut saja Mawar..hmmm kayak nama samaran di berita-berita kriminal nggak sih? Ganti aja ya, rada gimana gitu kalau dibaca. Okeh, jadi ceritanya ada seorang cewek bernama Raisa (teteuupp) hari itu dia ulang tahun yang ke sekian (dilarang menyebut usia, pamali). Hari ulang tahun udah pasti hari yang paling spesial buat semua orang, pastinya berharap dapet sesuatu yang spesial juga dong, terutama dari orang tersayang. Begitu juga dengan Raisa yang berharap dapat sesuatu yang super spesial, nggak pake KW. Ekspektasinya pasti udah tinggi aja, berharap dapet Jaguar gitu. Ahh, itu elo aja Ris! Hehe..back to Raisa.
Raisa udah berbinar-binar bahagia saat Keenan, sang pacar memberinya kado. Duhh, apa ya? Dari bentuk bungkusnya aja udah cute banget. Pikirannya udah kemana-mana. Apa kalung, atau cincin ya? Dari kotaknya sih terlalu besar untuk kedua perhiasan itu, kecuali komplit sama tiaranya. Princess kali ahh. Yah, namanya cewek kalo udah ngarep suka gak nanggung-nanggung. Kalo perlu berlian Harry Winston yang memiliki motto ‘once upon a time, the princess became a queen’ aja dikhayalin, dan berlian solitairenya yang segede tutup botol dipengenin juga. Ya elo kira pacar lo milyuner? Tapi amiinn, someday ya…uhuk kode.
Raisa membuka kado dari Keenan dengan antusias. Wajah Keenan sama antusiasnya, berharap Raisa menyukai hadiahnya. Saling ngarep dan saling deg-degan. Nah, tebak apa kadonya? Berlian? Kalung emas? Atau Jam tangan Rolex? Tetoott! Salah semua! Ternyata boneka teddy bear yang unyu banget dengan lambang hati berwarna merah. Raisa terbelalak. What? Cuma boneka? Hello? Era millenium aja udah lewat! Yang cute-cute is soo last year. Uuhh, please. Hati Raisa menjerit gemas.
Raisa terdiam lama. Marah, kesal, dan malu campur jadi satu. Jadi ini kado spesial dari Keenan? Cuma boneka? Kok cuma ini? Kok Keenan nggak sayang aku? Kok Keenan nggak menghargai aku? Raisa mau nangis rasanya (Padahal jelas-jelas ada lope-lopenya, jeung Raisa ini suka nuduh deh).
Keenan menyadari raut muka Raisa yang warnanya amburadul, mejikuhibiniu. Tapi banyakan warna merah keunguannya. Wah, Raisa marah nih. Keenan udah siap-siap mau pidato alias merayu biar Raisa nggak ngambek.
“Sayang, honey, baby?”
Raisa masih cemberut, menahan tangis.
“Kamu nggak suka kadonya?” suara Keenan bergetar. Dia sedih banget lihat ekspresi Raisa yang berubah dari happy jadi manyun to the max.
Raisa menghela nafas panjang, menimbang-nimbang teddy bear itu dengan wajah tidak suka. Ini cocoknya buat ponakan gue Keenan, bukan buat gue. Raisa jadi sakit hati sendiri. Dia pikir Keenan akan memberinya sesuatu yang spesial, sesuatu yang Raisa banget. Tahu deh apaan, yang penting bukan teddy bear ini.
“Raisa, ngomong dong sayang..”
“Iya. Aku nggak suka. Hadiah apaan ini? Aku kan bukan anak kecil yang cuma dikasih boneka terus happy!” karena kesal dengan sekuat tenaga Raisa melempar boneka teddy bear unyu itu ke tengah jalan.
(Ummh, maaf settingnya emang di pinggir jalan. Jadi harap dimaklumi, dari sononya)
“Raisa!” Keenan menatap Raisa dengan raut wajah kecewa, detik berikutnya Keenan lari menghampiri boneka teddy bear yang malang itu.
Dan yah, malang tidak bisa dihindari. Tiba-tiba saja Keenan tertabrak sebuah sedan hitam yang melaju kencang, badannya langsung terpental jatuh dan teddy bearnya terlempar entah kemana. Raisa terpana melihat kejadian itu. Dia shock.
“Keenan!” Raisa menjerit histeris. Dia langsung berlari memeluk Keenan yang terbaring tak berdaya di jalan. Darah mengalir di pelipis Keenan. Raisa panik melihat darah yang semakin banyak.
“Keenan, Keenan!”
Dengan cepat Keenan ditolong oleh orang-orang yang berada di sekitar situ dan dibawa ke rumah sakit terdekat. Dengan kekalutan dan kepanikan yang luar biasa Raisa menemani Keenan ke rumah sakit. Dia berharap Keenan bisa diselamatkan. Pokoknya Keenan harus selamat, Raisa nggak mau kehilangan Keenan.
Di rumah sakit Keenan dinyatakan meninggal. Raisa nggak bisa ngomong apa-apa, rasanya dia mau mati saja. Dia terpukul sekali. Dadanya terasa sesak. Kenapa dia bertingkah konyol seperti itu sampai membuat Keenan meninggal dunia dan meninggalkannya? Kenapa? Kenapa? Sejuta kenapa ada di kepala Raisa. Di saat Raisa sedang menyesali sikap kekanakannya, seorang polisi menghampirinya.
“Ini punya kamu?”
Teddy bear itu! Raisa mengangguk, dengan cepat diraihnya boneka itu dan dipeluknya erat-erat. Air matanya mengalir deras. Ahh, Keenan maafkan aku..Raisa memeluknya semakin erat.
“Will you marry me?”
Raisa tersentak. Dipeluknya lagi teddy bear itu erat-erat. “Will you marry me?”
Teddy bear itu bisa ngomong! Raisa kaget luar biasa, teddy bear itu terjatuh dari tangannya begitu saja. Dan sesuatu menggelinding. Sebuah cincin. Dengan tangan yang bergetar hebat Raisa meraihnya, dan membaca ukiran di cincin tersebut. KR. Inisial nama mereka berdua.
Speechless…mati rasa…
Di saat Keenan dimakamkan, Raisa hanya bisa memeluk teddy bearnya, dan mendengar berulang-ulang rekaman itu. Air matanya tidak bisa berhenti turun. Dia udah kehilangan Keenan, kehilangan cintanya. If only turn back time….Raisa nggak akan bertingkah semenyebalkan itu, dia akan berteriak kesenangan dan memeluk hadiah dari Keenan dengan sukacita. Dan segala harapannya tentang Keenan akan menjadi kenyataan. Tapi sekarang yang tersisa dari Keenan hanya teddy bear yang sedang dipeluknya. Ahh, if only….

Moral of the story, jangan ngasih kado di pinggir jalan. Hahaha, joking.
Yess, expect too much itu nggak baik. Harusnya Raisa akting seneng dulu ya? Karena ternyata di dalam hati teddy bearnya ada surprise yang jauh di atas ekspektasinya Raisa.
Gue waktu baca ceritanya ampe nangis lho..maaf ya kalo gue ceritanya gak sesedih aslinya. Tragis banget…kado yang dulu dibencinya sekarang jadi benda kesayangannya Raisa. Nyesek nggak sih?
Yah ceritanya Raisa dan Keenan cuma salah satu contoh aja siihh…
Intinya sih, bukan cuma soal ekspektasi aja. Tapi kita harus bener-bener bisa menghargai dan mencintai apa yang dikasih dan apa yang dipunya. Dan kita nggak pernah tau umur kita sampe dimana, kita nggak pernah tau orang-orang yang dekat sama kita diberi umur sampe berapa. Mulai sekarang kita harus bisa menerima dengan apa yang ada pada diri kita sendiri. Jangan sampai kita menginginkan sesuatu tapi malah menyakiti seseorang yang kita sayang.
Mengharapkan sesuatu dari orang tersayang boleh banget, kecewa juga boleh banget. Tapi kadang kala realitas dan impian itu nggak bisa sama-sama langsung terwujud. Mulai sekarang yuk hargai pemberian dari orang lain, apalagi dari orang tercinta. Kalau nggak sesuai, ya dinikmati aja, siapa tahu ntar-ntar bisa terwujud. Yang penting selalu berpikiran positif. Seperti apa yang Allah SWT kasih sama kita, baik buruknya itu sudah aturanNya. kita harus ingat yang menurut kita baik atau bagus belum tentu baik di mata Allah, begitu pun sebaliknya yang buruk atau jelek menurut kita, itu adalah yang terbaik di mata Allah bagi kita.
Dan yang terpenting..selalu bilang sayang sama orang-orang yang kita cinta. Orang tua, suami, istri, anak, adik, kakak, sahabat, dll. Karena kita nggak pernah tahu…. .

Sincerily,
Yuris Afrizal

UNSPOKEN

Tags

Prolog

Memilih kematian. Aku akan memilih kematian tanpa rasa sakit. Nyawaku akan meregang dengan sempurna, tanpa digerogoti penyakit macam-macam yang mematikan, gegar otak akibat kecelakaan, serangan jantung yang tiba-tiba, terpeleset di kamar mandi, kelaparan, bencana alam, tenggelam di laut, terbakar, diperkosa atau dibunuh. Semua pilihan kematian itu membuatku bergidik. Aku ingin mati dalam kedamaian yang abadi. Tapi kita tidak bisa memilih kematian kan? Karena kematian itu adalah takdir. Sepertinya halnya jodoh, kita tidak bisa memilih sesuka hati kita. Jodoh dan kematian adalah pilihan Tuhan, takdir Tuhan yang tak terbantahkan. Segala ilmu pengetahuan tidak akan bisa memecahkannya. Kematian adalah misteri.

Mungkin saja hari ini aku tertawa bahagia, besok pagi tubuhku akan terbujur kaku, tak bernyawa. Atau saja aku menangis, mengharapkan kematian segera datang, tapi umurku malah bertambah berpuluh-puluh tahun. Yang ingin mati besok berumur panjang, dan yang tidak ingin mati, besok mati. Keinginan dan ketidakinginan manusia jauh dari kata takdir. Kita hanya bisa menunggu, seperti apa bentuk kematian yang akan terjadi pada kita.

Aku selalu memikirkan kematian. Bagaimana aku akan mati kelak. Apakah dalam keadaan depresi atau bahagia. Banyak orang hebat mati muda, aku ingin seperti itu. Mati muda tapi dikenang semua orang, dibanding berumur panjang, tapi aku tidak dikenang. Aku ini orang yang banyak mau ya? Soal kematian saja aku pilih-pilih.

Saat ini umurku masih dua puluh delapan tahun. Sudah termasuk matang untuk ukuran perempuan. Apa aku sudah menghasilkan sesuatu? Apa aku sudah mewujudkan mimpiku? Apa aku sudah menemukan cinta sejatiku? Atau Menikah?  Sayangnya semua itu belum terwujud. Aku belum menghasilkan apa-apa, belum mewujudkan apa-apa, apalagi menikah. Cinta sejatiku hanya sebuah ilusi. Dan aku tidak menyangka sebuah cinta akan membunuhku dan membuatku terbaring kaku tak bergerak di sebuah ruang ICU Rumah Sakit. Aku mengalami koma.

Ini mungkin yang dinamakan mati suri. Nyawaku tidak bersatu dengan tubuhku. Keberadaanku dipertanyakan. Aku bukan hantu yang bergentayangan. Hanya saja rohku tidak bisa merasakan tubuhku. Aku hanya bisa menatap dalam kebisuan, dan mendengar suara orang-orang yang menengokku. Aku tidak merasakan tetesan air mata yang jatuh mengenai lenganku atau wajahku. Tubuhku tidak merespon apa pun. Tapi aku belum menghilang. Detak jantungku berdetak satu-satu. Mungkin kalau salah satu selang itu dicabut dari tubuhku, aku akan mati saat itu juga. Tapi tak ada satu pun orang yang berniat mencabutnya.

Aku berada di dunia yang entah apa namanya. Sepotong-sepotong kenangan dalam hidupku berputar berulang-ulang di kepalaku, seperti sebuah rekaman. Aku melihat diriku saat masih kecil, aku menangis ketika kembang gula yang aku beli dimakan abangku, tertawa bersama Mami Papi saat mereka membawaku ke taman ria. Bayangan itu berubah ke masa aku remaja, menari Bali, melukis pegunungan, kemudian berubah lagi pada saat aku kecil, bermain lego, membuat tower paling tinggi, berubah lagi ke masa remaja, rok abu-abu, dijemur di lapangan upacara, berubah lagi ke masa aku kuliah. Aku mengikat rambutku dan menusuknya dengan pensil, menggambar sebuah gedung pencakar langit, dan aku melihat senyum seseorang. Senyum yang bagai mentari untukku. Senyum yang aku harapkan bisa menjadi milikku selamanya. Rav. Dia tertawa sambil mencoret-coret gambar di atas kertas gambarku.

Bayangan itu pudar. Aku melihat air mata. Air mataku berjatuhan di pipi. Kebaya biru laut pemberian Rav. Aku memakainya dengan sedih. Tanganku bergetar saat menyentuh kebaya itu, ingin merobeknya dan mengoyak-ngoyaknya menjadi serpihan. Tapi aku menyayangi Rav, jadi aku memakainya. Hanya demi dia.

Dan aku melihat bayangan kematian itu. Begitu cepat dan tak terelakan. Air mata itu mengaburkan pandangan mataku. Hatiku yang carut marut dan babak belur membuatku tidak fokus sama sekali. Mobilku menabrak sesuatu dengan kerasnya, membuatku terpental dan kepalaku entah membentur apa. Semua itu terjadi dalam hitungan detik. Sesaat aku berpikir aku pasti mati.

Kecelakaan maut itu masih membuat jantungku berdetak, aku berhasil diselamatkan walau keadaaaku langsung koma. Aku masih hidup, tapi koma. Ini bentuk kematian yang tidak aku pikirkan sama sekali. Aku hanya tinggal menunggu detak jantungku menghilang.

Hari ini aku menunggu kematianku dengan takzim. Menunggu dan menunggu.

 

THE JOURNEY

September 2009

The Journeys. Itu konsep yang gue ambil buat foto prewed gue sama Rizal. Sebenernya buat gampangnya sih ambil aja tema casual, alam, modern, chic, tempo dulu, klasik, warna, atau urban sekalian. Tapi gue pengen ada storynya, niat banget gue sampai bikin plot cerita. Boleh dibilang gue orang yang ribet, dikit-dikit harus pake story, tapi itu kan gimana selera ya? Gue Cuma pengen nunjukin that’s our signature di foto-foto prewed gue sama Rizal.

Gue sama Rizal itu berbanding 180 derajat. Walaupun sama-sama suka Arsitektur, kita beda visi misi, hihihi kayak sekolahan aja pake visi misi. Tapi serius, walau gue orang masa kini, tapi gue suka sesuatu yang klasik dan berbau sejarah. Bisa dilihat dari bangunan favorite gue, yaitu karya-karya Gaudi, dan kota-kota tua di Eropa. Mungkin satu-satunya bangunan semi modern yang gue suka adalah Museum Louvre, Paris. Kalau Rizal, dia suka banget yang berbau urban, high-tech, dan modern. Dari situ awalnya gue dapet ide soal konsep prewed.

Awalnya gue menggambarkan suatu hubungan itu butuh destinations, sebelum nyampe kita butuh journeys, iya gak? Tapi apa pun tujuan kita, ujung-ujungnya kita melewati sebuah perjalanan. Dari yang berliku-liku, penuh kerikil, bercabang, sampai mulus kayak jalan tol. Tapi gue males aja gitu menganalogikannya kalau berbentuk jalan. Masa iya musti foto di jalan tol, plus bawa koper? Hihihi, lucu juga sih, tapi gak kebayang repotnya pindah-pindah jalan. Akhirnya gue menyatukan sisi jadulnya gue dan modernnya Rizal. Tempat transportasi. Modern-Tempo Dulu.

Bandara Soekarno Hatta – Pelabuhan Sunda Kelapa – Stadhuisplein – Stasiun Kota – Transjakarta. Itu tempat yang kami pilih. Kenapa sih semuanya di Jakarta? Ya itu dia, ada pelabuhannya, kalau di Bandung? Masa iya di pinggir sungai Citarum? Kalau lihat peta Jakarta, semuanya dalam satu garis lurus, kecuali Bandara. Gue terinspirasi dari buku Rahasia Meede – E.S. Ito, tempat-tempat yang indah bukan? sayangnya gak sebagus di zamannya.

Berhubung foto di Jakarta. Gue dimake-up dari jam empat subuh, biar jam enam pagi udah meluncur ke Bandara, first journey. kita berencana foto satu hari full, dari pagi sampai malam. Belum kebayang capeknya kayaknya apaan, gue sih mikirnya enjoy aja. Persiapannya sih udah pasti ribet bin riweuh. Dari kostum dan property apa saja yang mau kita pakai. Rencananya gue mau pakai baju Noni Belanda, Cuma sewanya itu boooo, mahal banget! Akhirnya gue cuma sewa topi dan payung saja, selebihnya dari semua koleksi baju gue. Kasian amat, hihihi..mepettt bo dananya.

Pemotretan di Bandara kita ambil tema urban. Gue suka dengan situasinya yang rame dan penuh orang, kalau enggak salah emang lagi deket-deket orang mau mudik lebaran deh, Bandara jadi penuh, dan itu sisi positifnya. Urbannya dapet banget. Gue sama Rizal pakai baju casual saja, ngejeans dan pakai baju putih-putih sama abu-abu. Gak lupa kacamata hitam dan koper-koper. Tadinya mau dibikin film, Cuma gak sempet bikin cerita, lagian waktunya mepet. Sedih sih, tapi emang gak ada waktu lagi. Gue nih banyak maunya.

Second journey, Sunda Kelapa. Kita pas nyampe sana hampir jam dua belas siang, kebayang gak teriknya kayak apa? Gue rasa matahari membelah dirinya kayak amoeba sampai berkali-kali lipat, panasnya gak santai. Karena terpengaruh sejarah, gue pikir pasti Pelabuhannya keren bin kuno. Ahhh, ternyata lagi dibangun, banyak pasir dan debu. Kapal-kapalnya sih bagus, Cuma banyak jemuran. Kecewa? Lumayan..dalam bayangan gue, di sana bisa naik perahu kecil dengan gaya tempo dulu. Gue sengaja pakai tshirt biru plus kain lilit hitam, serba etnik, sandalnya pun mirip orang Majapahit. Tapi itu semua hanya mimpi L. Saking panasnya, mata gue gak bisa dibuka, sipit banget, dan debunya gak banget, bikin pedih mata. Akhirnya kita foto cepet-cepet. Banyak angle yang gagal karena mata yang sipit dan keringet yang menetes. Harusnya gue ke sini sore-sore. Tapi boro-boro mau naik perahu, airnya itu hitam legam dan bau. Ini pelabuhan yang dulu dibangga-bangga kan? Kalau suka baca sejarah dijamin kecewa berat liat situasinya sekarang L.

Third journey. Stadhuisplein, Museum Jakarta. Sumpah gue cinta mati sama tempat ini. Kadang gue berharap, gue hidup di zaman dulu, bisa menikmati indahnya tempat ini. Saking isengnya gue pernah muterin Stadhuisplein sendirian, bagi gue tempat ini sangat berharga nilai historynya. Dan gue ingin menikmatinya sendiri, walau sempet dikejar-kejar sama orang gila. Btw, kok gue malah melantur. Back to topic. Di sini gue sama Rizal pakai dua kostum. Satu gue pake mini dress putih plus topi biar kayak Noni Belanda, Rizal juga sama pakai topi. Kita pakai sepeda, lucu dan seru. Stadhuisplein lagi rame dan penuh banget, kita malah jadi objek difoto juga deh. Setelah seru-seruan sama sepeda, gue ganti baju pakai kebaya broken white dan Rizal pakai jas. Aduuhh, gue paling suka dia pakai jas, ganteng banget. Anyway, ini foto yang paling gue suka. Jendela-jendela lebar, payung putih lebar, itu hasilnya klasik banget. Seperti sebuah perjalanan, gue dan Rizal melintasi waktu. Masa lalu dan sekarang.

Fourth journey. Stasiun Kota. kenapa sih gak Gambir? Balik lagi, gue pengen ngambil sesuatu yang kuno. Tadinya mau foto di rel, tapi kereta lagi penuh L, ehh kalo dipikir-pikir ini banyak gue yang pengen dehh. Hah, menyebalkan. Jadinya di gerbong dan koridor aja. Situasinya ramai, jadi tontonan lagi deh. Harusnya difoto pas lagi jam-jam sepi ya? keindahan bangunannya pasti dapet banget. Btw, sebenernya gue mau foto prewed, atau foto arsitekturnya sih? Hehehe…

Fifth journey. Transjakarta. Kita foto ini pas malam. Kebayang gak bagusnya Jakarta kalau malam? Ini sisi modernnya, berharap difoto terlihat lagi di MRT Singapore atau Jepang, hihihi mimpi kali ye? Di sini casual lagi, gue pakai putih abu, Rizal biru abu. Gue suka foto ini, kesannya desak-desakan, dan falling in love di sini, hihihi. Untung lagi kosong, jadi asyik banget foto-fotonya. tadinya mau maksain foto di Bunderan HI, apa daya gak ada gaun L. Haduuhhh, kalau jadi foto, gue kasih taglinenya “The City of Blindings Light”. Gue udah kayak Maid In Manhattan tuh gayanya, hahahaha.

Intinya sih gue gak suka foto yang dibuat-buat. Foto gue dan Rizal banyak yang candid. NO, banget kalo harus ada adegan pandang-pandangan, peluk-pelukan, itu norak banget dan gak alami. Hasilnya jadi kaku dan keliatan banget foto prewed. Gue yakin sih, gue bakal ketawa ngakak tiap foto harus saling memandang, NAY banget lah! Merit kan sekali seumur hidup ya? Maunya ya sesuai kepengen gue dan Rizal. Kayak foto kawinan. Suer benci banget gue kalo harus difoto berbagai angle, lagi liat kemana ato saling meluk. Buat gue berdiri ato duduk aja kesannya lebih bagus, lebih keliatan Raja Ratu sehari. Lhhaaa kok jadi bahas foto kawinan.

Yah, begitulah kisah the journeys-nya gue. Cinta itu butuh alat transportasi, kalau nyeker, cepet capek, haha joking. Gue menganalogikannya seperti itu, karena apa pun  kendaraannya, resiko perjalanan pasti tetap ada. Seperti cinta, perjalanannya gak akan mulus, even pesawat bisa terbang, cepat, dan kilat, tapi saat cuaca memburuk, udah pasti delayed, dan yang paling buruk yaitu jatuh. Love is never simple. Mau pakai andong sekali pun, kalau kudanya capek, jalannya jelek, as bannya pecah, kita pasti sulit meneruskan perjalanan. Cinta seperti itu, sulit, mudah pasti ada hambatannya. Tergantung kita bisa sabar dalam perjalanan itu, mau meperbaiki setiap masalah, dan siap menjalaninya.

Pada akhirnya gue memutuskan untuk memilih berjalan bersamanya. Bukan karena kesempurnaan cintanya, tapi karena dia mau memahami, mau belajar, dan yang pasti karena dia mau menggandeng tangan gue dalam setiap perjalanan kami. “Just the two of us, we can make it if we try….just the two of us..you and i….”

AM TOO DAMN BEAUTIFUL

Ini bukan soal kenarsisan gue yang makin parah, ini soal potret hidup yang sering bikin gue terbengong-bengong kayak sapi. Gue sih gak mau lebay ya kalo menilai hidup itu seperti apa, gue cuma melihat dari sisi gue aja, kalo hidup itu ya gitu, susah-susah gampang. Beneran deh hidup itu is all about choice, tapi find happiness itu yang kadang jadi salah kaprah dan bikin frustasi.

Contoh deh ya, gue baru kedatengan ART baru. Bukan hal yang aneh dapet ART abg, udah skeptic aja gue kalo mandang abg, pasti deh dia banyak maunya, banyak gak bisa, manjaan, dan susah buat ngerti kerjaan dia tuh apaan. Cek penampilan, ini orang rapi banget, pake jeans plus belt, kayak orang mau nge-mall, masih untung gak pake sepatu ulekan. Bukan gak boleh rapi, tapi ya bukan dandanan ART normalnya yang lebih ndeso. Oke deh, mungkin emang anaknya gaul, jadi pinter dandan, gue sih dulu lagi zamannya ababil cuek bebek, ahh no offense sih. Terus..gue perhatiin tuh orang banyaknya bengong, gak sigap, dan gak punya hasrat buat kerja, apalagi pas liat Dave yang petakilan. Udah mau nangis aja dia disuruh jagain Dave yang aktif banget. Trus gue bilang deh, “Tenang Mir, kamu gak usah ngasuh dia, cuma jagain aja kalo saya mandi dan makan..” sigh. Giliran gue yang mau nangis dapet ababil. Kebayang kan sibuk maen hp plus fb-an sambil ngasuh anak gw?

Besoknya. Nyokap ngomel subuh-subuh, si Mirna minta pulang, fyi namanya jeung Mirna. Alasannya gak boleh sama Mama, what? Heee, alasan yang dibuat-buat gak sih? Oke deh kalo mau balik, gue juga gak mau nahan-nahan orang yang gak mau kerja, seperti halnya ngelarang pacar yang pengen putus dari kita dan gak mau hidup sama kita, ciyeeehh dalem. Tapi seperti itu lah kondisinya, kita gak bisa maksa seseorang buat stay sama kita kan?

Gue liat cara tuh ngomong, menye-menye, dan gayanya bikin keselek gentong air. Pake hotpants dan lekbongan, berasa di pantai dia, sedangkan gue pake cardigan. Gue rasa Bandung lagi 0 derajat tadi pagi, kuat juga dia gak mengigil. Gue ajak ngobrol, dia kayaknya gak mau kerja, pokoknya takut dimarahin Mamanya. Bingung dong gue. Iya sih kalo dilihat secara fisik, dia gak pantes kok jadi ART. Rambut dicat warna warni, rapi, dan dandan, pastilah cocoknya kerja di Mini Market. Istilahnya Am too damn beautiful buat jadi pembantu doang, makanya gue mau nangis dan pulang aja. Walo lulusan SMP, dia pasti maunya kerja yang kerenan dikit, minimal kerja di Pabrik. Tapi apa daya, dia mikirnya udah jauh aja kalo kerja di Pabrik susu Pangalengan, makin gak bisa eksis dia.

Yah, kadang orang berpikir ini karena nasib gue jadi begini. Think twice deh sebelum ngomong kayak gitu. Asli kita bisa memilih kalo kita mau. Contoh lagi deh, bokap gue itu tujuh bersodara, dari kampung asli di Sumedang sana. Bokap gue tukang gembala sapi, anak gunung. Kalo mau sekolah, bisa jalan tiga jam, bolak balik enam jam deh, kayak di film Laskar Pelangi. Tapi disitu ada kemauan pasti ada jalan, Bokap gue bisa kuliah dan biayain sendiri sekolahnya sampe S3, gue aja takjub sendiri. Bayangin deh dari tujuh bersaudara cuma bokap gue yang sekolah tinggi dan bisa jadi anggota DPR pas period Suharto. Bukannya bokap gue gak bisa nyekolahin adik-adiknya atau pelit, bisa banget malah. Sumpah deh kalo mereka mau, bisa kok kayak bokap gue, tapi mereka gak mau. Itu intinya dalam hidup, kemauan. Jadi ya gitu deh, kesenjangan yang ada. Mindset kita yang harus diubah, hidup itu gak mudah. Kalo mau jadi tajir ya usaha dong, kalo diem aja, ya segitu aja hidup lo.

Contoh yang lebih gampang. Kenapa gue mutusin merit? Dan kenapa mau menikah dengan seorang Rachmat Fadhil Afrizal Zamri. Kalo Am too damn beautiful dipake sama gue, mungkin gue belom merit sampe sekarang, dan ngimpi dapet Prince Charming turun dari kuda. Ehh, serius, Am too damn beautiful buat jadi IRT doang, tipe gue kan harusnya berkarier ampe mampus, merit itu urutan paling bontot, yakali, hihihihi. But that’s life..gue memilih untuk menjadi Mrs. Rizal, bukan karena cinta matinya kita berdua, bukan karena kantong rahim yang ada tahun kadaluarsanya, gue menikah karena Dia. Ya sesimple itu gue memilih.

Love is not blind, but blinding. Tapi gue masih sober waktu mutusin merit sama Rizal. Dia Arsitek muda, masih meniti karier, jauh dari rekening bank yang ada duit serinya, tapi kenapa gue mau ya? Kalo gue mau, gue bisa nyari aja yang lebih. Tapi gue gak mikir sependek itu. Dia mungkin bukan keturunan Raja yang punya duit bejibun, bukan juga anak konglomerat. Gue liat dia secara personal, yang gue tahu dia pekerja yang ulet, rajin dan pinter. Gue mau kok hidup dari bawah dulu sama dia, bagi gue harta itu bukan segalanya, selama dia mau bekerja keras dan berusaha buat gue, selamanya itu pula gue akan mendampinginya, iya dong..kalo dia bekerja keras untuk stranger alias wanita lain, masa iya gue tetap setia?

Alasan yang paling krusial kenapa gue milih dia jadi suami gue Cuma satu, sekali lagi bukan karena sempurnanya dia sebagai seorang lelaki. Karena dia membiarkan gue jadi diri sendiri. Gak ada tuh embel-embel ngatain gue high maintenance atau gak bisa jadi seorang istri idaman kayak sebagian cowok yang berpikir gitu. Padahal ya gue cuma mau bilang sama cowok-cowok model begitu Am too damn beautiful buat kawin sama elo. Belum apa-apa udah mikir jelek, belum kenal gue aja udah ngejudge yang jelek-jelek, ogah banget gue merit sama cowok model begitu, makan hati.

Pilihan itu jangan dibikin jadi pusing. Intinya find your happiness, Am too damn beautiful harus bisa ditempatin dengan benar. Kayak milih sepatu, saat elo lagi iseng nyari, eh..nemu yang cocok, tapi elo masih belum butuh, gak jadi beli deh. Tapi pada saat elo butuh, kadang musti hunting kebeberapa toko baru nemu, itu pun masih kebayang sama yang sebelumnya. Seandainya gue beli itu sepatu..pasti gue bakalan sekeren Angelina Jolie, like that laah. Sesal itu di ujung, gak pas kejadian.

Persis kayak nyari jodoh. Milih A,B,C,D, ehh taunya karena plinplannya elo, semuanya kabur ngacir kawin sama orang lain. Kalo banyak bandingin, elo gak akan dapet yang terbaik, yang ada sisa. Waktu bokap gue sakit di RS karena stroke, gue ketemu ibu-ibu cantik, dia orangnya ramah banget. Gue pikir, gila umur segitu masih cantik aja gitu. Terus dengan bawelnya dia cerita kehidupannya ke gue, biar sopan gue dengerin aja. Dia liatin foto anaknya yang seumur  sama Dave anak gue. Hah? Shock dong gue, nikah umur berapa nih ibu? Akhirnya dia cerita kalo dia merit sama pengusaha yang juga punya pesantren xxxx di Cirebon sana. Dia bilang, saya ini perawan tua lho, nikah umur 38. Banyak yang mau sama saya, tapi saya gak mau hidup susah. Daripada susah, saya mending gak kawin. Gue bengong dong, terus terang banget nih ibu. Terus dia bilang, suatu hari dia ketemu duda yang ditinggal meninggal oleh istrinya yang kanker. Tajir melintir banget itu duda, dan ibu itu mau aja, beda umur 20 tahun gak masalah yang penting hidupnya kejamin sampe tua ntar. Bayangin deh, ibu itu aja umurnya udah kepala empat, gimana si bapak? Katanya udah kakek-kakek reyot, sambil ketawa si ibu. Enak lagi katanya punya suami tua, gak bisa ngatur-ngatur, ehh busett si ibu, yang ada gue ngurut dada. You are too damn beautiful ya bu?

That’s life. Kalo terlahir bukan dari orang kaya tujuh turunan, mau gak mau terima nasib, itu standarnya. Tapi kalo elo too damn beautiful kayak si ibu cantik itu, ya tinggal cari suami kaya, hehehe. Hidup emang kejam saat elo gak bisa memilih, apalagi elo gak mampu buat memilih. Ya kayak ART gue yang manjanya ngalah-nagalahin gue itu. Cuma lulusan SMP, mau jadi apa dia di era dunia yang persaingannya gila itu. Cuma di sinetron-sinetron menjual mimpi kalo orang miskin bisa merit sama konglomerat. Mau too damn beautiful juga, tetep aja pendidikan itu yang diukur. Ujung-ujungnya jadi TKW, merit sama tetangganya. Yah, jangan jadi orang sombong, kalo elo mampunya segitu ya jangan mimpi ketinggian, ntar jatuhnya sakit banget.

Gue punya temen yang too damn beautiful buat jadi orang biasa. Kalo gue jadi dia, udah jadi model kawakan kali, bolak balik di catwalk. Tapi si too damn beautiful ini lebih milih jadi sexy model, kadang-kadang jadi SPG rokok, pake rok mini kemana-mana. Setelah sepuluh tahun gak ketemu, hidupnya gitu-gitu aja, berakhir dari hidung belang ke hidung belang lainnya. Dia liat gue jengah banget, awalnya cipika cipiki, tapi tuh orang gugupan banget. Dan yeah, gue mergokin dia lagi gelendotan mesra sama om-om yang jelas bukan bokapnya, pake tank top ketat meletet plus hotpants, yang kalo diperhatiin nyaris kayak celana dalem. Mukanya menor kayak tante-tante girang ketemu brondong. Dulu mungkin dia pujaan temen-temen sekolahan, too damn beautiful buat pacaran sama yang jelek. Milih-milih cowok sok selektif, tapi hidup berakhir tragis. Gue bakalan marah kalo dia bilang gak ada pilihan. Helloooo, gue tau ortu lo tuh kerjannya apaan, nyokap lo tuh Guru, mampu banget nyekolahin dan didik elo jadi perempuan baik-baik. This is your choice, jangan cari kambing hitam buat pembenaran tingkah laku elo yang murahan itu. Tobat itu bisa banget, tapi elo gak mau, karena elo udah keenakan hidup dibayarin om-om hidung belang itu.

Waduuh, kok gue jadi emosi ya? Habis sebel kalo ada orang bilang, gue gak punya pilihan. Kalo gue pasti bilang, ini pilihan gue, dan gue bakal telen semua konsekuensi itu sendiri. Kayak merit sama Rizal, itu pilihan gue, kalo gue gak merit sama dia, gue yakin gue gak akan punya seorang Davian Yurra dalam hidup gue, dan gue akan menyesal seumur hidup, ini lebaynya gue, hehehe. Btw, sometime kita perlu punya sikap Am too damn beautiful buat jadi segini doang. Kita Cuma bisa berusaha, tapi balik lagi hasilnya sama yang di Atas. Never give up for your life. Kalo elo mau, elo pasti bisa memilih, intinya kemauan buat berubah. Jadi kayak khotbah gue. Ahhh, Am too damn beautiful buat jadi penceramah dehh, hahaha.

 

Mrs.Afrizal – dhl. Yuris Sunatra